Satu
di antara sekian poin tujuan gerakan penumbuhan budi pekerti ala Menteri Anies
R. Baswedan adalah terbentuknya watak kebangsaan dan nasionalisme pada anak
didik. Pembentukan karakter itu diwujudkan dengan upacara bendera dan
menyanyikan lagu nasional bertema patriotik sebelum dan sesudah memulai
pelajaran. Nasionalisme mesti ditanamkan sejak anak-anak agar mengakar dan
menyatu pada kepribadian anak.
Pembentukan
nasionalisme pada anak-anak pernah jadi tema utama penggarapan buku bacaan anak
di Indonesia semasa era Orde Baru. Buku dicetak melimpah, beredar gratis di
Sekolah Dasar. Buku bacaan tak berpenampilan mewah, berilustrasi sederhana dan
tak terlalu tebal. Buku berlabel “bacaan anak” di halaman sampul serta memuat
keterangan: “Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tidak Diperdagangkan,
Inpres Nomor...” Buku-buku terbit sejak kisaran tahun1970an hingga 1990an.
Proyek
buku bacaan anak jadi siasat menampilkan ideologi, pandangan politik, serta
nasionalisme ala Orde Baru. Kita bisa melacak bagaimana buku-buku berkisah lewat
sejumlah tema dan cerita. Cerita dikemas dalam balutan semangat kebersekolahan,
nasionalisme, keberpihakan pada pemerintah, dan pengamalan Pancasila. Buku dikarang
demi pembentukan imajinasi anak-anak menurut negara.
Desa
Lakon
anak dalam buku berlabel “bacaan anak” ini tak pernah jauh dari pengisahan
desa. Imajinasi desa dimaksudkan sebagai asal lahirnya bocah-bocah berprestasi.
Kita belum lupa, Presiden Soeharto pernah mengikrarkan diri sebagai bocah desa.
Identitas kedesaan ditampilkan dalam sekian cerita sebagai pengesahan peran
desa dalam melahirkan orang-orang besar. Desa jadi tema politis. Desa ikut
mengantar perjalanan hidup Soeharto jadi presiden.
Buku
Desa, Sekolah, dan Benderaku (1984)
karangan Ninin Kurniasih dkk merangkum sejumlah kisah dan kesaksian para bocah
desa penyandang tunanetra. Mereka mengisahkan desa dalam esai-esai sederhana.
Esai berisi harapan tentang desa di masa depan. Ninin Kurniasih menulis:”Aku
bercita-cita memajukan desaku kelak sesudah aku tamat sekolah. Aku ingin
mengajar orang-orang yang belum berpengetahuan”.
Pandangan
publik kerap menempatkan desa identik dengan orang tak berpengetahuan. Namun, dari
desalah lahir bocah dengan pelbagai cita-cita mulia. Tokoh Ninin berniat
membangun desa meski dalam kondisi kekurangan. Bocah dihadirkan sebagai agen pembangunan
negara. Pola pikir pembangunan diajarkan ke anak-anak, selaras dengan pilihan
politik Soeharto.
Cerita
anak juga menampilkan lakon bocah desa sebagai penggembala, anak petani, anak
orang miskin, pembelajar. Bocah di desa lekat dengan laku menanam, memanen padi
di sawah, bermain di sungai, berlari-lari di kebun, atau memanjat pohon.
Pengalaman bocah di desa merangsang pembaca anak-anak menginsyafi desa sebagai
bagian dari negara yang mesti diperjuangkan.
Riwayat
bocah penggembala dinarasikan secara apik dan lugu dalam buku Di Relung Gunung (1983) karya Hudoyo MZ.
Bocah penggembala sebagai pusat penceritaan. Di desa memang banyak penggembala
kambing, sapi, kerbau, dan hewan ternak lain. Menggembala tentu pekerjaan biasa
tapi mengandung kearifan dan amalan tradisi. Tokoh Lano, seorang penggembala,
tak berkemampuan untuk bersekolah tapi berkepribadian baik dan pandai. Lano punya
kebiasaan meminjam buku teman-temannya yang bersekolah agar tak terlena dengan
keasikan bermain.
Imajinasi
bocah desa dalam bacaan anak mengisyaratkan anjuran-anjuran tentang ketekunan,
optimisme, dan kecintaan pada negara. Idealitas tokoh anak desa debagai
generasi bangsa sengaja dibentuk dalam buku bacaan agar ditiru para pembaca anak-anak.
Cita-Cita
Kisah
dalam buku anak pun tak luput dari agenda bercita-cita. Sekian cita-cita dikisahkan
dengan memikat demi merangsang semangat belajar anak-anak. Novelis gaek Remy
Sylado dalam buku Ketua Kelas Kita (1985)
ikut berpetuah perihal cita-cita lewat pesan tokoh ibu guru. Remy Sylado
menulis:“Pesan ibu kepada kalian semua, janganlah patah semangat. Cita-cita
tidak selamanya ditempuh mudah. Kalau cita-cita mudah kalian raih, tentu
cita-cita bukanlah lagi bernama cita-cita.” Penjelasan Remy Sylado memberi
seruan sekaligus motivasi. Cita-cita jauh di ujung jangkauan tapi bukan berarti
tak bisa diraih.
Sedangkan
buku Cintailah Bumi di Negerimu (1983)
karya Manto justru secara eksplisit menyebut cita-cita ideal bagi anak.
Simaklah:“Ada yang ingin menjadi anggota ABRI, dokter, insinyur, pegawai
negeri, pedagang, petani, peternak dan sebagainya. Kesemuanya itu pada umumnya
bertujuan sama, yaitu agar hidupnya berguna bagi dirinya, bangsa dan negaranya
serta agamanya.” Saat Orde Baru, cita-cita anak mesti bersejalan dengan ikhtiar
mendermakan diri kepada negara. Propaganda itu pun berhasil. Sampai hari ini,
pegawai negeri masih jadi dambaan kaum sarjana berdalih hidup santai tapi
bergaji besar.
Membuka
kembali tumpukan buku berlabel “Inpres” dan “bacaan anak”, kita bisa melacak
bagaimana pembentukan pola pikir “menjadi Indonesia” era Orde Baru saat itu.
Indoktrinasi nasionalisme dilakukan secara besar-besaran tapi sedikit saja
menghasilkan generasi kritis dan berkepribadian. Yang ada justru generasi tak
acuh dan kurang peka karena campur tangan politik yang berlebihan. Tema dan isi
buku pada bacaan anak cenderung menjurus pada legitimasi kekuasaan dan pencitraan
Presiden Soeharto.
Kecerobohan
kebijakan era Orde Baru tak boleh terulang lagi. Menteri Anies mesti belajar banyak
dari kekeliruan Orde Baru di masa lalu. Penumbuhan nasionalisme dan watak
kebangsaan pantas mendapat dukungan publik, tak boleh berakhir di Permendikbud
dan surat edaran menteri saja.[]
Dimuat Suara Merdeka, 5 Agustus 2015