Karya sastra tak pernah jauh dari pengisahan manusia dan
sekitarnya. Lewat imajinasi pengarang, manusia ditafsir dalam pelbagai
perspektif. Kebebasan fiksional merangsang pengarang menggali nilai-nilai
kemanusiaan secara detail untuk
disajikan dalam garapan puisi, cerpen, dan novel. Manusia tampil sebagai tokoh
rekaan, berkelindan dalam cerita, konflik, dan pesan. Para intelektual menguak
dan mempelajari manusia merujuk pada karya sastra, berpamrih membaca gejala
zaman.
Buku Mengejek
Indonesia: Sejumlah Kajian Sastra karangan Dr. Harjito, M. Hum adalah satu
dari sekian kerja membaca manusia bersandar pada tafsir karya sastra. Pemaknaan
atas simbol, dialog, pesan, konflik, dan imajinasi tokoh, jadi bekal membaca
permasalahan kemanusiaan. Kajian terhadap cerpen, cerita anak, cerita rakyat,
novel, berhasil memantik wacana gender, kekuasaan, dan modernitas.
Kita bisa menyimak temuan wacana gender dalam kajian berjudul
Di Balik Sosok Wanita (hlm. 21).
Mengajukan cerpen Makeba dan Kitti karya Pamusuk Eneste, Harjito
menguak kritik tajam perihal gender dalam kedua cerpen tersebut. Kritik tertuju
pada masyarakat kita yang masih melanggengkan kesadaran dominasi patriarki,
mudah menyudutkan kesalahan pada pihak wanita. Seorang istri yang tak kunjung
memiliki momongan akan cenderung disalahkan ketimbang pihak suami, misalnya.
Selain itu, perempuan luar negeri (baca: Barat) masih
dijadikan sebagai model ideal, kiblat pemaknaan kecantikan. Dalam tulisan
berjudul Cantik Itu, Harjito
menganggap para perempuan masih melakoni “pemujaan tubuh didukung pesona
industri media berupa citra perempuan dengan tubuh sempurna. Rambut
menakjubkan, paras menawan, hidung mancung, bibir sensual, dada berisi,
pinggang ramping, atau paha dan kaki yang singsat” (hlm.19). Perempuan lupa
bahwa kodrat mereka sebagai manusia dari negeri Timur tentu punya citra berbeda
dari perempuan Barat. Pada tahap inilah, masyarakat kita belum memiliki konsep
sadar gender.
Dari karya sastra pula, kita bisa membaca konstruksi
kekuasaan yang berlaku dalam pengisahan ceritanya. Imajnasi tokoh dibentuk
dalam bangunan sistem kekuasaan dan mimesis. Karya sastra jadi medium ampuh
menyampaikan kritik meski tesembunyi dalam kelindan fiksionalitas. Tak sedikit karya
sastra sengaja dibuat sebagai wacana kritik karena sifatnya yang imajinatif.
Harjito mencomot cerpen Telor
karangan Putu Wijaya sebagai cara menyuarakan sindiran sekaligus kritik
terhadap kekuasaan yang menindas. Indonesia memang pernah sengsara
bertahun-tahun lamanya di bawah cengkram rezim otoritarian Soeharto. Mengajukan
kritik tanpa siasat dan pertimbangan yang matang adalah tindakan ceroboh dan
konyol. Sangat mungkin nyawa jadi taruhan.
Cerpen Telor
mengisahkan hidup seorang jendral yang disegani, yang kemudian wafat dan
mewariskan sebutir telor untuk keempat anaknya. Singkat cerita, untuk membagi
telor tersebut disewalah seorang konsultan asing. Dari pengisahan yang tidak
masuk akal ini, pada akhirnya, Harjito menyimpulkan: “[T]eks Telor merupakan reaksi tematis atas
kondisi/ tradisi dominan sang penguasa yang terjadi di Indonesia. Dalam bahasa
sederhana, teks Telor merupakan upaya
mengejek diri sendiri, diri bangsa Indonesia” (hlm.103).
Potensi menjadi sebuah buku kajian yang bertenaga sedemikian
besar seandainya penulis tidak tergoda mengikutsertakan sekian tulisan populer,
yang pada dasarnya tidak mencakup kriteria kajian. Meskipun tulisan–tulisan
tersebut, menyitir pengakuan penulis dalam pengantar:“berbicara perihal
manusia”, tetap saja ada bangunan konsistensi yang retak akibat hal tersebut.
Kita bakal bimbang saat mendapati campur baur antara kajian analitis dan
tulisan populer bersatu dalam satu bunga rampai.
Meski demikian, buku ini setidaknya berhasil mengajak kita mencicipi
pelbagai teori dan disiplin ilmu guna menempuh perjalanan melelahkan dalam
rangka “mengejek” Indonesia lewat pemaknaan karya sastra. Temuan perihal kritik
terhadap kesetaraan gender dan konstruksi kekuasaan adalah sedikit dari apa yang
dibeberkan buku ini. Kajian-kajian tersebut membuktikan permasalahan kekuasaan
dan kemanusiaan di Indonesia masih belum beres.[]
Dimuat Harian Rakyat
Jateng, 22 November 2014