(Tanggapan atas
esai Autogami (24 Mei 2015) dan Euforia
Sastra Koran dan Masa Depan Sastra Indonesia (31 Mei 2015) di rubrik ini.)
Dua Minggu
berturut-turut, sastra koran disinggung dalam esai yang terbit di kolom ini.
Radna Tegar Zakaria dalam esai berjudul Autogami
(24 Mei 2015) mengajukan sebuah risalah perihal para penulis sastra yang
menjadikan koran sebagai acuan eksistensi. Esai diawali kutipan obrolan dengan redaktur
majalah Horison (tak dicantumkan
namanya), yang dianggapnya sebagai sastrawan senior.“Apakah tidak lagi disebut
sastrawan atau cerpenis kalau absen menulis di media massa?”
Diceritakannya
kemudian, sastrawan tersebut kini tak lagi “menerbitkan buku dan cerpen baru di
media massa.” Jawaban dari sang sastrawan kemudian dijadikan pondasi awal guna
menilik geliat sastra koran di Indonesia. Selanjutnya, ia menulis: “Kemunculan
nama dan karya mulai diartikan sebagai kerja narsistik dan pendulang
popularitas di jagat susastra (sangat berkebalikan dengan senior yang saya
sebut di bagian awal tulisan ini).”
Tema sastra
koran berlanjut dalam pengisahan Mohammad Ali Tsabit lewat esai berjudul Euforia Sastra Koran dan Masa Depan Sastra
Indonesia (31 Mei 2015). Menurutnya, ada ketidakberesan dalam dunia sastra
karena banyak penulis mulai menjadikan sastra koran sebagai kiblat. Pengalaman
mengikuti diskusi sastra, di mana pembicara melulu membicarakan honor di
koran-koran, ikut mengimbuhi dugaan Mohammad Ali Tsabit bahwa penulis koran
mulai terjangkit “mental materialistis”. Apabila hal itu diteruskan, sang esais
cemas, masa depan sastra Indonesia bakal suram.
Dari pelbagai
dugaan yang diajukan dua esai tersebut, saya justru menangkap ada semacam
ketergesaan dan kekeliruan logika berpikir dari sang esais. Pertama, esai Radna Tegar Zakaria
kentara ceroboh mengajukan landasan argumen dalam tulisannya. Mari kita cermati
ucapan redaktur Horison yang dikutip
Radna:“Apakah tidak lagi disebut sastrawan atau cerpenis kalau absen menulis di
media massa?”
Pertanyaannya
kemudian, apa patokan seseorang untuk dianggap penulis sastra (sastrawan)? Mari
sejenak kita buang konvensi koran sebagai pertanda eksistensi penulis. Kita
jadikan kerja menulis sebagai ukuran. Tepatnya, eksistensi penulis diukur dari
kerja kepenulisan yang terus-menerus ia lakoni. Karena, mereka yang menulis dan
berkibar di masa lalu, dan tak lagi menulis di masa kini, sepantasnya ditahbiskan
sebagai pensiunan penulis.
Seandainya tak
lagi menulis di media massa, jurnal, blog pribadi, juga tak lagi menerbitkan
buku baru, lantas bagaimana kita tahu etos kepenulisan seseorang masih menyala?
Bukankah dari amatan Radna Tegar Zakaria, sastrawan tersebut kini tak lagi
“menerbitkan buku dan cerpen baru di media massa.” Keputusan untuk mengutip
sang redaktur Horison tersebut ke
dalam esainya, menurut saya, merupakan kekeliruan prematur. Saya bayangkan
jawaban sastrawan tersebut adalah:”Saya masih tetap menulis, tapi tidak, atau
tepatnya, belum ingin memublikasikan tulisan tersebut”.
Kedua, jika Radna Tegar Zakaria beranggapan majalah Horison dipandang sebagai salah satu
pusat legitimasi sastrawan, seperti di era kejayaan tahun 1990-an, sehingga
menganggap kontribusi sang redaktur lebih penting ketimbang munculnya para
penulis koran lainnya, saya menduga Radna Tegar Zakaria masih menganut pola
pikir dikotomis antara pusat dan yang bukan pusat dalam kesusastraan.
Tak ada lagi
pusat (media atau kelompok) yang berhak mengaku sebagai legitimator seseorang
menjadi sastrawan. Siapa saja yang mengikuti perkembangan informasi dan
referensi buku sastra, melakoni etos menulis terus-menerus, merekalah yang
bakal mendapat legitimasi sastrawan secara otomatis oleh publik. Di era
kekinian, pemahaman yang komprehensif tentang sastra, dan produktifitas dalam
menulis, sepantasnya diajukan sebagai takaran untuk menilai layak tidaknya seseorang
sebagai sastrawan.
Ada pun
popularitas sastrawan, saya kira bukan representasi dari kualitas karyanya. Dalam
hal ini, kekhawatiran Radna saya kira beralasan. Publik pembaca sastra di
Indonesia memang masih perlu berbenah. Banyak karya bermutu justru kurang
populer. Tetapi, menggeneralisir penulis koran atas dugaan kerja narsistik
karena menampilkan tulisannya di jejaring sosial adalah pernyataan yang
gegabah. Tak sedikit komunitas literasi yang menjadikan koran hanya sebagai
saluran kecil atas pergulatan intelektual yang mereka tekuni. Pemutakhiran
pengetahuan dan dialektika justru jadi urusan utama.
Ketiga, untuk urusan honor, saya persilakan Mohammad Ali Tsabit
untuk hitung-hitungan di atas kertas. Dari 35 provinsi di Indonesia, mari
hitung jumlah media yang berikhtiar memberi penghormatan secara pantas kepada
penulis lewat honor. Sangat sedikit, bisa dihitung dengan sebelah tangan.
Tetapi, penulis
memang orang yang berkepala batu. Misi mengabarkan buah pikiran berupa tulisan
ke hadapan pembaca lebih mendesak diajukan ketimbang misi berhonor. Karenanya,
kekhawatiran Mohammad Ali Tsabit perihal masa depan sastra Indonesia yang suram
tentu berlebihan. Mengirim tulisan ke koran, bagi saya, adalah upaya
memartabatkan tulisan. Tulisan bakal memiliki publik pembaca yang luas, serta
mampu bertarung secara terhormat dan terbuka.
Dari argumen
dan data yang diajukan dalam dua esai tersebut, saya justru khawatir atas
kecenderungan banyak penulis untuk melihat sesuatu, terutama terkait seni dan
pengetahuan, secara dangkal: diletantis.
Gejala diletantisme adalah ancaman
bagi kita sebagai publik sastra. Diletantisme bisa dipahami sebagai pengetahuan
yang dangkal dalam ilmu atau seni karena sikap yang salah, dalam berbagai
gejala dan bentuk manifestasinya (A. Mangunhardjana, 1997). Diletantisme bisa
dipicu lingkungan yang manja, perasaan cukup diri, dan kemalasan
Keberlimpahan
informasi, buku-buku, hingga ketersediaan informasi media daring, tanpa adanya sikap
dan tuntutan untuk menempa diri menjadi berkualitas lewat kompetisi, pada
akhirnya hanya akan melahirkan individu dengan kemampuan yang dangkal.
Ketergesaan menyusun pondasi argumen, perspektif yang menggeneralisir, serta
sikap-sikap yang gemar memberi simpulan tanpa lacakan yang mendalam, merupakan
bagian dari gejala diletantisme.
Pun dengan perasaan
cukup diri dari seorang sastrawan ataupun intelektual; merasa sudah menjadi
redaktur, dosen, atau akademisi sastra, misalnya, sehingga ia merasa tak perlu
lagi melakukan pemutakhiran kualitas teksnya (dan bacaannya); merasa pernah
membuat karya yang berkualitas di masa lalu, hingga merasa “selesai” dalam
kemampuan menulis.
Orang yang sadar
atas ancaman diletantisme tentu tak akan gegabah mengajukan sejumlah tuduhan
dan ramalan tanpa adanya lacakan dan pendalaman yang memadai. Apalagi hingga
memberi semacam justifikasi secara umum terhadap laju kesusastraan kontemporer
hanya berdasarkan ulah sejumlah orang di jejaring sosial. Pada titik ini, saya pun
merasa khawatir, jangan-jangan saya juga terjangkit diletantisme gara-gara
menanggapi dua esai yang diletantis itu….[]
*Tulisan ini sengaja dibuat untuk dikirim ke Suara Merdeka, hanya agar redaktur, Saroni Asikin, membaca pandangan saya tentang posisi penulis koran hari ini. Dan, tentu saja, tidak dimuat karena kolom yang tersedia hanya cukup untuk 5000 karakter. Sedangkan tulisan ini hampir berjumlah 7500 karakter.