Di Indonesia, orang-orang bergelar sarjana sudah ada
sejak puluhan tahun silam. Mereka menempuh kuliah dan meraih gelar sarjana
sebagai misi mendongkrak harkat dan martabat bangsa. Dulu, sarjana adalah orang-orang
terpilih.
Mereka kerap digadang-gadang menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka ada untuk menjalankan misi keberaksaraan,
nasionalisme, dan revolusi Indonesia. Sukarno, Hatta, Frans Seda, untuk
menyebut beberapa cobtoh, adalah sarjana di masa lalu yang sanggup mewariskan pemikiran
dan sumbangsihnya kepada negara.
Bergelar sarjana bukan tanpa risiko. Di zaman
kolonial, menjadi sarjana adalah siasat mempersiapkan manusia-manusia pengisi
kemerdekaan.
Capaian gelar sarjana tentu membuktikan betapa kaum
bumiputera tak lebih rendah dari penjajah. Tak pelak, sarjana di zaman itu
mesti berhadapan dengan penguasa
kolonial. Karena kepandaiannya, sarjana kerap dirayu
untuk ikut berpihak pada
kepentingan kolonial. Godaan kaum sarjana bisa berupa tawaran proyek, jabatan, dan kekuasaan.
Cindy Adams (1966:95) mencatat pengisahan Sukarno saat
berkeputusan menolak
rayuan kolonial pasca bergelar sarjana. Kepandaian Sukarno di bidang arsitektur telah memukau gurunya, seorang warga Belanda. Pasca lulus kuliah, Sukarno diajak bekerja sama dalam proyek pembangunan
rumah
untuk kepentingan para pegawai kolonial. Sukarno
pun menolak tegas, ia punya keyakinan ideologis
terkait penolakan itu.
“Pemuda sekarang harus merombak sebiasaan untuk
mendjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnja. Kalau tidak
begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanja.” Sukarno memilih tak mendapat
kerja ketimbang berpihak pada penjajah. Padahal,
saat itu, untuk membeli gula pasir saja Sukarno tak mampu. Godaan seorang
sarjana di masa lalu berkaitan dengan sikap dan pandangan politik. Mereka yang
tak tahan godaan bakal terseret ajakan kolonial, yaitu dipekerjakan untuk
urusan-urusan kolonial dan, tentu saja, dicap pengkhianat di kalangan pejuang
dan aktivis kemerdekaan.
Waktu terus
berlalu, tantangan kaum sarjana terus berubah. Pasca Indonesia merdeka, para
sarjana mesti menentukan pilhan, melanjutkan etos kesarjanaan atau apatis
sepenuhnya dan memilih berkarir demi urusan pribadi. Tak bisa dimungkiri, selepas studi, kaum sarjana dibayangi tuntutan untuk lekas bekerja, berpenghasilan
cukup, serta berumahtangga.
Namun, selalu
saja muncul tokoh-tokoh yang dengan keteguhan idealismenya tak ingin
cepat-cepat berlabuh pada dermaga bernama pragmatisme demi urusan personal. Pilihan untuk terus bergelayut
dalam idealisme dan intelektualisme ditempuh oleh Soe
Hok-Gie. Bulan
Desember adalah bulan peringatan Soe Hok Gie. Ia lahir 17 Desember 1942 dan
wafat 16 Desember 1969. Semasa mahasiswa, Gie menempatkan diri sebagai pemanjat gunung,
aktivis, serta pembaca buku yang tekun. Ia
tegas menjunjung moral, serta lantang menebar kritik pada penguasa.
Menjelang akhir masa kuliah, Gie sadar
atas pilihan hidup yang bakal ia pilih. Gie tak
sempat bimbang memilih jalan hidup pasca bergelar sarjana meski dihadapkan pada
beberapa pilihan: Kerja di fakultas
sambil jadi wartawan bebas; pergi ke luar negeri, atau kerja di fakultas dan mulai membuat karier lain (1983:303). Gie tak ingin terseret arus uforia
politik kekuasaan
pasca keruntuhan rezim Sukarno, seperti
pilihan teman-temannya yang lain. Gie memilih bersetia pada jalan yang memungkinkan baginya untuk tetap independen dan
kritis.
Jika Gie mantap
menatap pilihan karier, dilema justru dialami Ahmad Wahib, intelektual muda Islam era
1970an. Wahib
bimbang ketika harus mengimbangi antara pilihan
memperbanyak jenjang studi dan tuntutan
ekonomi. Saat itu, Wahib mendekati akhir masa kuliah. Ia pun berhasrat menambah waktu berkuliah demi mempelajari bidang-bidang
politik, sosial, agama, dan kebudayaan umumnya.“Tapi untuk semua itu harus ada
tempat tinggal yang memadai dan…uang tentu saja” (1981:314).
Ambisi berintelektual terganjal urusan uang dan tempat
tinggal. Wahib pun
berkeputusan memilih jadi wartawan, berdalih
keterawatan nalar kritis. Tahun 1973, Wahib meninggal di usia muda akibat sebuah
kecelakaan. Kita bersyukur Wahib “sempat” mewariskan catatan hariannya sebagai
hasil pemikirannya yang cemerlang itu. Kini, kita mengenang Wahib sebagai
tokoh muda sang pembaharu Islam.
Kisah para
sarjana di masa lalu mengingatkan kita perihal dilema kaum sarjana. Cerita menyedihkan terus bertambah saat rezim Orde Baru berulah melancarkan pembungkaman dan penyeragaman. Ideologi pembangunanisme menciptakan elitisme
bagi para sarjana. Kebebasan
berpikir terkubur di sumur peraturan. Bergelar sarjana
telanjur disalahmaknai sebagai
jaminan berpekerjaan
enak dan berstatus sosial tinggi. Bergelar sarjana
memang prestisius meski tak menjamin hidup berkelimpahan materi.
“Nasib sarjana digariskan oleh politik tanpa
pemerdekaan peran dan misi. Pengondisan ini mengingkari jejak-jejak
intelektualitas saat para penggerak bangsa mendefinisikan Indonesia” (Mawardi,
2014).
Ironisme
sarjana pun semakin marak, dari plagiarisme, pragmatisme, hingga diletantisme
akademik. Pemaknaan sarjana berakhir pada adegan berfoto bersama keluarga dan
teman-teman saat wisuda.
Uforia
menghadiri wisuda bakal berganti kecemberutan saat sarjana dihadapkan pada
kenyataan perihal sempitnya lapangan kerja. Keberlimpahan sarjana justru tampil
saat acara-acara bertema “job fair”. Mereka berdesak-desakan menyerbu lowongan
kerja. Wajah-wajah pucat mengiaskan nasib sarjana sedang limbung. Kita pun
semakin kehilangan jejak etos kesarjanaan mengacu Sukarno, Soe Hok-gie, dan
Ahmad Wahib. []
Dimuat koran
Wawasan, 29 Desember 2015