Sapardi Djoko Damono masih
menyapa pembaca lewat penerbitan buku-buku terbaru. Di umur 75 tahun, ia masih
produktif. Tubuh renta justru membuat Sapardi kian bergelimang imajinasi.
Sapardi terus saja menulis. Tahun ini, tercatat ada empat buku ia terbitkan.
Ada kompilasi karya lama dan ada pula yang sama sekali baru.
Sejumlah terbitan itu kian mengukuhkan
Sapardi dalam jajaran sastrawan ampuh negeri ini. Kiprah dan ketekunannya memukau
publik. Ia menulis segalanya: puisi, cerpen, novel, kritik, esai sastra, hingga menerjemahkan
karya sastra asing. Wajar bila kita
menaruh kagum dan bangga atas etos dan kerja literasi yang telah ia tunaikan.
Kekaguman publik itu terlihat saat
berlangsung obrolan dan peluncuran novel Suti
di Balai Soedjatmoko, Solo, 22 November 2015 silam. Sebuah novel yang
berkisah perihal
keluarga priyayi di Solo, kisaran tahun 1960-an. Kisah seorang abdi bernama Suti yang terlibat percintaan terlarang.
Cerita dikemas
dalam sengkarut pergaulan dan kehidupan keluarga priayi, dibumbui tebaran simbolisme dalam adat Jawa. Sebelumnya, Sapardi juga telah
menerbitkan novel Trilogi Soekram, Hujan Bulan Juni, dan
kumpulan puisi Melipat Jarak. Tiga novel
dalam setahun!
Dalam peluncuran itu, Sapardi
berkesempatan hadir secara langsung. Kehadiran Sapardi tentu menyedot
perhatian. Arena diskusi sesak dan riuh oleh hadirin yang didominasi anak muda
dan mahasiswa. Buku-buku Sapardi pun itu
bernasib mujur. Hadirin tak henti-hentinya bergantian mengantri, bermaksud
membeli buku. Buku laris
tentu imbas dari ketenaran Sapardi. Mereka yang datang seolah tak mau kehilangan momentum untuk bertemu dan meminta tanda tangan sang
primadona.
Di Luar Teks
Adegan demi adegan berlalu. Moderator membuka diskusi, diawali
pembacaan petikan novel dan puisi, dilanjutkan sesi komentar dari para pembaca Suti. Beberapa minggu sebelum acara,
novel itu memang telah beredar terlebih dahulu di toko buku. Moderator menyilakan para pembaca
mengajukan komentar, kesan membaca, dan kritik. Sanjungan dan pujian
mengawali obrolan. Moderator ikut memberi pengakuan atas kekaguman dan
pemujaan terkait ketokohan
dan puisi-puisi
Sapardi meski sadar sedang memandu obrolan peluncuran novel.
Seorang pembaca mengajukan
perbandingan atas novel Suti dengan Para Priyayi garapan Umar Kayam. Pembaca
lain ikut memberi tafsir
atas serangkaian simbol yang mengarah pada nilai-nilai kejawaan. Sanjungan dan
pujian terlontar mengiringi setiap komentar.
Komentar demi komentar meramaikan
obrolan meski tak satupun hadirin berkeberanian mengajukan kritik. Meski
begitu, masih ada pembaca yang berani mengakui tak sanggup memberi pujian atas
novel itu. Ia hanya menyinggung bahwa novel Suti
adalah kelanjutan dari penulisan novel berbahasa-bertema
Jawa yang pernah Sapardi tulis di masa lalu. Bayangan perihal forum yang mengedepankan tinjauan dan penilaian
kritis itu pun berpendar dalam kedongkolan dan kecewa.
Obrolan justru beralih ke
pertanyaan-pertanyaan klise, tak eksplisit membicarakan kualitas
teks novel Suti. Seorang hadirin berkisah perihal
upaya kerasnya untuk bisa bertemu langsung dengan Sapardi, dari Jakarta sengaja
datang ke Solo. Ada pula mahasiswa yang sesumbar mempertanyakan orientasi dan
makna di balik puisi-puisi Sapardi berdalih misi penulisan tesis! Harapan untuk
mendengar kesaksian dan pembacaan kritis atas novel Suti terbenam dalam riuh pemujaan dan kultus atas sosok Sapardi.
Penyakit
Tinjauan kritis atas novel-novel
Sapardi memang mendesak untuk diajukan. Tiga novel terbit dalam setahun tentu
capaian prestisius. Respons publik atas novel-novel Sapardi menunjukan ada gairah yang menggebu dari
pembaca.
Pengisahan tokoh-tokoh dalam novel
Suti sanggup merekam kondisi psikologis dan
watak feodalistis yang melekat di keluarga Jawa era tahun 1960-an. Sapardi juga menggunakan pelbagai simbol,
tradisi, dan keyakinan kejawaan dalam nalar berpikir tokoh-tokoh rekaannya. Kita pun menyayangkan kecerobohan
penerbitan novel ini karena
meloloskan begitu banyak salah ketik dan kekeliruan penyebutan, sejak bagian awal hingga akhir.
Begitu pula
dalam novel Hujan Bulan Juni. Novel yang
mengisahkan tokoh Sarwono dan Pingkan itu laris meski tak menjanjikan sajian
kualitas. Paragraf demi paragraf kerap menebarkan “polusi”: dialog yang kering dan boros, serta lemahnya kekuatan
pedeskripsian tempat, suasana, dan ketegangan cerita. Karakter tokoh tidak
begitu kuat. Konflik pun tak tergarap secara
maksimal.
Penggunaan judul memang memikat karena merangsang ingatan
pembaca atas ketenaran puisi Sapardi terdahulu yang berjudul Hujan Bulan Juni. Pada bulan Oktober, novel ini tercatat memasuki cetakan kelima
sejak kali pertama terbit pada bulan Juni silam. Sebuah capaian fantastis
untuk novel yang begitu banyak kekurangan di sana-sini.
Dalam novel Trilogi Soekram, kita memang disuguhi
keberanian Sapardi dalam memadukan eksplorasi cerita. Kisah seorang tokoh rekaan
yang menggugat sang pengarang terkesan segar meski pada akhirnya kesulitan
dalam membangun konstruksi cerita yang utuh dan kokoh. Aroma kepenyairan Sapardi justru
menjejak jelas dalam narasi-deskripsi yang ia tulis.
Dari peristiwa di Balai
Soedjatmoko itulah, kita pantas menduga ada penyakit yang kini mengindap sebagian besar publik sastra kita.
Kekaguman dan pemujaan berlebih atas nama besar tokoh kerap merabunkan mata dan keberanian
kita dalam memberi
tafsir dan kritik secara jujur dan terang-terangan.
Kita kerap terjebak dalam penjara
kultus yang sesat: menganggap nama besar sastrawan berbanding lurus dengan
kualitas karyanya. Dari tinjauan novel-novel terbaru Sapardi kita bisa memberi kesimpulan:
publik sastra kita masih terjerat nalar selebritas. Kekaguman kerap berlandas
popularitas, bukan kualitas. Watak inilah yang dimungkinkan membuat dunia
sastra Indonesia tak maju-maju. []
Dimuat koran
Harian Rakyat Jateng, 1 Februari 2016