Tampaknya tidak hanya artis
sinetron yang gemar menggunakan nama
aneh, unik, dan tak jarang nyleneh,
demi meraih simpati publik. Kuliner juga. Di belantika perkulineran mutakhir,
para pengusaha beradu siasat menamai produk kuliner mereka dengan penekanan pada
kekhasan rasa, penampilan, bahkan sensasi agar nama enak dibaca.
Nama-nama produk itu tak jarang keminggris, mengikuti
merek berlabel internasional. Tentu saja untuk menggoda calon pembeli. Namun,
kita justru dibuat kecut saat disuguhi nama produk itu ditulis dengan ejaan keliru, bahkan ngawur, terpajang di kedai, warung atau gerobak kaki lima.
Kekeliruan itu pun tak perlu kita ributkan sampai ke rubrik
bahasa di majalah atau koran ibukota. Hanya saja, patut disayangkan pemilihan
dan penulisan nama tak dilakukan
secara kreatif dan teliti.
Bisnis kuliner memang urusan rasa
tapi perkara penjualan ditentukan oleh taktik pemasaran. Tak sedikit
pengusaha besar rela beriklan jutaan rupiah di
majalah, televisi, spanduk di pinggir jalan, agar nama dagangannya menancap di
ingatan publik.
Sebagian lain memilih berolah
kreasi memakai nama-nama yang berkesan lucu, juga mistis. Dalam waktu lima
tarikan nafas, misalnya, kita lancar mengingat: rawon setan, sambal setan,
sambal bledek, ayam jingkrak, oseng-oseng mercon, dsb.
Pemilihan nama itu tentu bukan
karena wangsit atau mimpi. Keputusan memilih nama kadang bermula dari peristiwa
unik atau berkesan. Konon, seorang pengusaha kuliner asal Cirebon bernama
Mutiah mulai menggunakan nama sambal setan untuk
sambal buatannya
sejak kedatangan turis asal Amerika Serikat yang makan di warungnya.
“Karena kepedasan, wajahnya
mengeluarkan banyak keringat, ingus dan ludah. Dia kemudian berteriak,’Pedes
sekali. Saya jadi kayak setan”. Sejak saat itu, warung Bu Mutiah, yang berada
di Jakarta itu, akrab disebut warung sambel setan (Kompas, 11 November 2016).
Ternyata oh ternyata, sambal
ekstra pedas bisa berfaedah dan membawa hoki. Kini, jualan Bu Mutiah jadi kian tenar. Kita tak usah repot-repot
mengadakan riset serius untuk membuktikan apakah Mutiah adalah pemakai pertama istilah
sambal setan di Indonesia.
Yang jelas, sambal bercap “setan”
itu disukai orang-orang. Publik pun mafhum: siapa berani icip-icip sambal setan mesti siap lidahnya
“terbakar” karena kepedasan. Kini, orang-orang terbiasa disodori istilah sambal
setan.
Bersejarah
Sejak ratusan tahun silam, bangsa
ini memiliki catatan
sejarah perihal rasa pedas. Konon, awal kehadiran makanan pedas di Nusantara
bermula dari perebutan pengaruh perdagangan rempah di kawasan Indonesia Timur,
yaitu di Maluku dan Sulawesi Utara.
Semula, rasa pedas itu berasal dari rempah-rempah.
Hingga kemudian pada akhir abad XV, Spanyol masuk ke Nusantara sembari
mengangkut tanaman cabai. Spanyol
berniat
menggantikan lada hitam yang kala itu jadi alat tukar perdagangan dan dikuasai oleh penguasa Maluku
Utara.
Ketika pada tahun 1644 VOC
Belanda dan Ternate bersekutu dan berhasil mengusir Spanyol dari Maluku dan Sulawesi
Utara, tinggallah tanaman cabai di sana. Akulturasi pun terjadi.
Orang-orang Minahasa mulai tergoda mencampur cabai dan rempah-rempah. Hasilnya,
makanan di daerah itu bercitarasa pedas sekaligus panas (Tempo, 1-7 Desember 2014). Kita sulit
mencari informasi apakah kala itu sudah ada orang-orang yang memakai istilah sambal setan.
Penamaan makanan secara “tak
lazim” justru tercatat sudah ada di era kepemimpinan Presiden Soekarno. Buku Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan
Soekarno yang terbit kali pertama tahun 1967, dan dicetak ulang oleh
penerbit Komunitas Bambu (2016), mencatat puluhan resep makanan bernama unik
dan aneh.
Kita bakal tersenyum tipis saat
membaca sekian nama resep masakan di dalam buku: Sambal penganten, sambal
bantji, sambal banteng, gelombang samudra, granat muntjrat, asmorodono, dan sajur
manipol usdek…. Wah, ada “sambal banteng” dan “sajur manipol usdek”!
Kita menduga penamaan “sambal banteng”
terinspirasi oleh kegemaran Soekarno dalam menggunakan kepala banteng sebagai
lambang dan simbol. Sedangkan istilah Manipol Usdek tak lain adalah gagasan
politik milik Soekarno saat menerapkan politik terpimpin, tepatnya sejak tahun
1959.
Lantas, apa isi resep “sajur
manipol usdek” itu? Nama masakan terkesan serius padahal berisi bahan-bahan
biasa: “daging/tetelan 1/4 kg, kedelai ½ gls, katjang pandjang 2 ikt, daun
melindjo dengan buahnya 1 gls, kelapa ½ btr, daun katuk 1 ggm, djagung muda 3
bh, terong 1 bh, daun katjang pandjang 1ggm”.
Penamaan makanan tergoda acuan ideologis. Sejarawan JJ
Rizal menyebut urusan pangan adalah bagian dari politik selfreliance Soekarno. Lidah orang Indonesia mesti disuguhi resep
milik sendiri agar berkepribadian dan
berwatak nasionalistis, bermula dari lidah dan pangan.
Merebaknya nama-nama unik yang
kini banyak dipakai oleh pengusaha kuliner barangkali sambungan dari masa lalu.
Penamaan itu
tak terkait politik atau ideologi, semata-mata bermisi ekonomistik—menjaring pembeli
sebanyak-banyaknya.
Terkadang, nama makanan bercorak mistis atau nyleneh sanggup “mengganggu” selera atau
imajinasi kita. Tetapi, apa daya perut lapar. Asal lezat dan halal, apa pun namanya tak
jadi soal.[]
Tribun
Jateng, 19 November 2016