Indonesia bergerak menuju negara dengan pertumbuhan kota yang pesat. Kota menjadi lahan subur pemekaran modernitas, pembangunanisme, teknologi, dan pertarungan ekonomi. Para pemodal berbondong-bondong ke kota demi meraup keuntungan. Pembangunan merebak di segala sektor. Kota menjadi obesitas dan kurang terjaga kesehatannya.
Buku Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi “Human Zoo” (2014) menilai pembangunan kota di Indonesia abai terhadap “kesehatan”’ penghuninya karena berlebihan. Perencanaan kota tanpa visi misi. Pembangunan tak menggarap potensi unggulan. Apalagi, semasa Orde Baru, pembangunan seolah-olah dirancang serbaseragam.
Akibatnya, pembangunan kota bersifat sporadis dan takluk pada kepentingan pemodal. Siapa saja boleh mendirikan bangunan di kota asal punya uang, tanpa mengacu pada rencana umum tata ruang. Pembangunan yang serampangan, lambat laun membentuk kota mirip human zoo. Warganya berkelakuan mirip binatang: buas dan beringas (hlm 1-4). Satu per satu kota-kota dipenuhi luka akibat paku bumi, bencana, dan punahnya lahan terbuka hijau.
Banyak ambisi yang hendak mengorbankan gedung-gedung bersejarah demi pamrih ekonomistik. Wacana pembangunan mal di dalam Benteng Vastenburg di Solo dan mal di areal Pasar Johar Semarang, dua dari sekian contoh.
Maka, 31 tulisan Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dalam buku ini mencoba menangkal pembentukan human zoo di Indonesia. Seruan keras dilontarkan kepada anggota dewan saat mau merenovasi gedung MPR/DPR. Ide renovasi terlalu ambisius karena menelan dana mahabanyak, waktu pembangunan dinilai kurang tepat karena rakyat masih dilanda kemiskinan.
“Gedung MPR/DPR bisa disebut pengejawantahan jati diri regresif masa silam. Bila tidak dilakukan dengan hati-hati, renovasi atau penambahan bangunan MPR/DPR berpotensi merusak citra, kekhasan, dan keunikan,”(hlm 12). Pengarang juga menyelipkan kutipan puisi sebagai pencerahan dan sindiran (hlm 159).
Kota memerlukan konsep nilai agar pembangunan tak melulu memuaskan hasrat modernitas. Tekanan global memang kerap merangsang pengiblatan negara-negara modern sebagai acuan membentuk sebuah kota. Alhasil, kota kerap tumbuh sebagai ruang tak bertata nilai, kering, dan kaku. Nilai-nilai budaya terpinggirkan. Kota perlahan tak lagi sanggup memanusiakan manusia. Dia bergerak dari metropolis menjadi miseropolis, megapolis menjadi megapolost.
Ruang-ruang publik jadi sumpek. Penghuninya tidak peduli lingkungan dan berpotensi menciptakan manusia-manusia temperamental, liar, serta intoleran. Keseluruhan gejala tersebut jadi satu indikasi nyata terbentuknya human zoo bila tidak segera direvisi.
Ada 10 konsep pembangunan berkelanjutan prokaum miskin guna menangkal human zoo. Sederet referensi diajukan guna memberi landasan memutuskan solusi. Kita bakal diajak menelusuri berbagai referensi para pemikir perkotaan kontemporer.
Sepuluh gagasan pembangunan berkelanjutan menekankan kesetaraan, keseimbangan ekologis, lapangan kerja, pemberdayaan, dan pelibatan swasta. Kemudian, juga ada penegakan hukum, rasa nyaman, ramah lingkungan, beretika, dan estetis (hlm 186). Buku ini pantas jadi acuan para pembangun perkotaan abad XXI dan sandaran menyikapi gelombang modernitas yang menyerbu kota-kota Indonesia.[]
Dimuat di Koran Jakarta, 2 Juli 2014
Buku Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi “Human Zoo” (2014) menilai pembangunan kota di Indonesia abai terhadap “kesehatan”’ penghuninya karena berlebihan. Perencanaan kota tanpa visi misi. Pembangunan tak menggarap potensi unggulan. Apalagi, semasa Orde Baru, pembangunan seolah-olah dirancang serbaseragam.
Akibatnya, pembangunan kota bersifat sporadis dan takluk pada kepentingan pemodal. Siapa saja boleh mendirikan bangunan di kota asal punya uang, tanpa mengacu pada rencana umum tata ruang. Pembangunan yang serampangan, lambat laun membentuk kota mirip human zoo. Warganya berkelakuan mirip binatang: buas dan beringas (hlm 1-4). Satu per satu kota-kota dipenuhi luka akibat paku bumi, bencana, dan punahnya lahan terbuka hijau.
Banyak ambisi yang hendak mengorbankan gedung-gedung bersejarah demi pamrih ekonomistik. Wacana pembangunan mal di dalam Benteng Vastenburg di Solo dan mal di areal Pasar Johar Semarang, dua dari sekian contoh.
Maka, 31 tulisan Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dalam buku ini mencoba menangkal pembentukan human zoo di Indonesia. Seruan keras dilontarkan kepada anggota dewan saat mau merenovasi gedung MPR/DPR. Ide renovasi terlalu ambisius karena menelan dana mahabanyak, waktu pembangunan dinilai kurang tepat karena rakyat masih dilanda kemiskinan.
“Gedung MPR/DPR bisa disebut pengejawantahan jati diri regresif masa silam. Bila tidak dilakukan dengan hati-hati, renovasi atau penambahan bangunan MPR/DPR berpotensi merusak citra, kekhasan, dan keunikan,”(hlm 12). Pengarang juga menyelipkan kutipan puisi sebagai pencerahan dan sindiran (hlm 159).
Kota memerlukan konsep nilai agar pembangunan tak melulu memuaskan hasrat modernitas. Tekanan global memang kerap merangsang pengiblatan negara-negara modern sebagai acuan membentuk sebuah kota. Alhasil, kota kerap tumbuh sebagai ruang tak bertata nilai, kering, dan kaku. Nilai-nilai budaya terpinggirkan. Kota perlahan tak lagi sanggup memanusiakan manusia. Dia bergerak dari metropolis menjadi miseropolis, megapolis menjadi megapolost.
Ruang-ruang publik jadi sumpek. Penghuninya tidak peduli lingkungan dan berpotensi menciptakan manusia-manusia temperamental, liar, serta intoleran. Keseluruhan gejala tersebut jadi satu indikasi nyata terbentuknya human zoo bila tidak segera direvisi.
Ada 10 konsep pembangunan berkelanjutan prokaum miskin guna menangkal human zoo. Sederet referensi diajukan guna memberi landasan memutuskan solusi. Kita bakal diajak menelusuri berbagai referensi para pemikir perkotaan kontemporer.
Sepuluh gagasan pembangunan berkelanjutan menekankan kesetaraan, keseimbangan ekologis, lapangan kerja, pemberdayaan, dan pelibatan swasta. Kemudian, juga ada penegakan hukum, rasa nyaman, ramah lingkungan, beretika, dan estetis (hlm 186). Buku ini pantas jadi acuan para pembangun perkotaan abad XXI dan sandaran menyikapi gelombang modernitas yang menyerbu kota-kota Indonesia.[]
Dimuat di Koran Jakarta, 2 Juli 2014