Sumber: keepo.me |
“Biarpun harus berebut saat membeli tiket,
saya tetap mudik. Biarpun untuk mendapatkan tiket harus antri sejak sehabis
subuh, saya tetap mudik. Biarpun harus berdesak-desakan di semua moda
transportasi, saya tetap mudik. Biarpun harus menghadapi kemacetan yang parah bahkan di jalan tol, saya
tetap mudik. Walaupun kesal dan jengkel atas ketidakmampuan negara memberikan
pelayanan yang baik bagi para pemudik, saya tetap mudik,” (Jamal D Rahman, 2013:
288).
Kutipan di atas bukan sebuah
puisi. Namun, bagi sebagian orang, terutama di kalangan umat Islam di Jawa,
pernyataan Jamal D Rahman, sang penyair dari tanah Madura, di atas tentu bukan
sesuatu yang berlebihan. Justru dari kutipan itu, kita bakal tahu apakah
perspektif Jamal D Rahman tentang keharusan mudik diyakini pula oleh jutaan
umat muslim di Indonesia.
Begitulah arus mudik menandai
waktu Lebaran sudah semakin dekat. Dalam konteks sosial, pulang ke kampung
kelahiran untuk berlebaran seperti sudah menjadi sebuah keharusan. Lebaran
adalah pertemuan kembali antara manusia dengan sesuatu yang konon bersifat
keruhanian.
Tradisi sungkeman memunculkan pengalaman spiritual yang begitu membekas
dalam perjalanan ruhani manusia. Setelah menjalani puasa sebulan lamanya, serta
saling meminta maaf dan memaafkan saat Lebaran, manusia seperti terbebas dari
dinding dosa di masa lalu.
Lebaran juga dimaknai sebagai
momentum peziarahan tanah leluhur. Biasanya, selepas shalat Ied, masyarakat
berbondong-bondong datang ke pesarean,
melafalkan doa bagi leluhur dan keluarga yang sudah meninggal. Orang Jawa
menyebutnya nyekar. Ritual ini
menunjukan ada kerinduan kepada mereka yang pernah mengisi kenangan hidup di
masa lalu. Kerinduan yang kadang bersifat mistik dan sulit dijelaskan secara
nalar.
Nurcholish Madjid (2000:137) menganggap
Lebaran sebagai puncak pengalaman hidup manusia dalam daur waktu selama
setahun. Lebaran jadi sentral atas segala kegembiraan, kebahagiaan, serta
kedirian manusia yang paling mendalam. Dengan demikian, tentu bisa dimaklumi adanya
fenomena pergerakan manusia dari kota/tanah rantau menuju tanah kelahiran,
menempuh segala risiko demi bersua dengan sanak saudara: mudik.
Jalan dipenuhi gelombang manusia
bermudik. Mereka bersedia menanggung jarak ratusan, bahkan ribuan kilometer, di
atas kendaraan. Ada yang rela berdesakan di dalam bis. Ada pula yang mengantri
berjam-jam lamanya demi sebuah tiket keretaapi. Bahkan tak sedikit dari mereka
rela menyabung nyawa dengan berboncengan, berdua, kadang sampai bertiga, menggunakan
sepeda motor. Debu dan jalan rusak bukan masalah yang pantas diributkan. Kebahagiaan
bertemu keluarga mesti dibayar dengan sekian pengorbanan.
Lebaran pada akhirnya pantas dimaknai
sebagai panggung sosial bagi masyarakat. Lebaran menjadi semacam ajang
pembuktian bagi mereka yang telah melakoni hidup dengan mengadu nasib di kota. Seolah-olah,
setahun bekerja memang dipersiapkan hanya untuk menantikan Lebaran. Lebaran
pada akhirnya menjelma peristiwa yang berekses luas di luar nilai keagamaan
semata, tetapi juga sosial.
Kita bisa mengajukan serangkaian
amatan untuk membuktikan dugaan ini. Mereka yang setahun hidup di kota, pada
umumnya punya ambisi untuk mementaskan kesuksesan di hadapan keluarga dan
kerabat saat Lebaran tiba. Mereka punya gelagat untuk menunjukan apa-apa saja
yang telah mereka peroleh di tanah rantau. Taruhlah semisal, membawa pulang
kendaraan baru, berpakaian baru, memamerkan sekian aksesoris mewah yang melekat
pada tubuh, bisa berupa perhiasan ataupun gawai canggih.
Dalam bentuk lain, panggung
sosial itu bisa berupa selebrasi kuliner, pelesiran, dan bagi-bagi uang kepada
sanak saudara. Tak sedikit pula yang menjadikan Lebaran, terutama mereka yang
belum berpendamping, sebagai momentum mengenalkan calon pasangan hidup yang
mereka temukan di tanah rantau.
Hasrat untuk dipandang sebagai
manusia kota (baca: orang sukses) tampak dalam perubahan penggunaan bahasa. Mereka
tak hanya menuai penghasilan materi dari kota, tetapi juga identitas baru. Tak
sedikit dari mereka enggan untuk berbicara dalam bahasa asal (daerah).
Menggunakan bahasa kota dianggap
sebagai identitas kesuksesan. Mereka ingin dianggap sebagai manusia kota dengan
segenap citra kesuksesan meski identitas kultural sebagai manusia kampung/desa
tetap saja melekat. Penampilan boleh ala orang kota, tetapi pola pikir tetap
saja tak berubah.
Padahal, kita pun mafhum, tak
semua orang yang mengadu nasib di kota mendapati apa yang mereka cita-citakan. Di
kota, kenyataan tak pernah sama dengan harapan. Tuntutan kerja yang kelewat
melelahkan, mahalnya biaya kebutuhan, semua itu memaksa mereka berjuang
mati-matian.
Segala jerih payah penderitaan
hidup di tanah rantau dibayar lunas ketika bisa merayakan Lebaran dengan
segenap kelimpahan materi. Dimensi sosial ini telah menempatkan Lebaran sebagai
sebuah panggung sosial yang selalu dinantikan oleh segenap umat Islam. Terutama
sekali oleh mereka yang merantau di kota, mereka yang mempertaruhkan nasib
sebagai manusia urban. []
Dimuat di edaran Ora Weruh
nomor 2 tahun IV, 2015 dan Jurnal Urbanologi
edisi Juli 2015