Oleh:
Widyanuari Eko Putra
Perubahan
memang jadi semacam persuasi yang seolah-olah hadir di depan mata.
Perubahan adalah jargon gampang, untuk tidak menyebutnya picisan,
bagi setiap kontestan politik. Di negeri ini perubahan bergema dari
zaman ke zaman. Masyarakat terjajah mengharap perubahan
(kemerdekaan); masyarakat pasca-kemerdekaan menantikan perubahan
secara menyeluruh: sebuah revolusi, meskipun roda revolusi pada
akhirnya macet; dan di era reformasi, perubahan masih kerap
terdengar.
Barangkali
hanya Orde Pembangunan yang lirih meneriakan perubahan. Masa ini
adalah momen di mana jargon perubahan dilipat oleh misi pembangunan.
Dan, sejak reformasi lahir hingga sekarang, perubahan adalah “puisi”
di setiap panggung kampanye. Perubahan memang mengairahkan. Ia
menguap dari mulut aktivis, birokrat, politikus hingga intelektual.
Meski pada suatu waktu, masyarakat terkaget-kaget, justru, oleh
perwujudan perubahan. Perubahan bisa saja membikin gerah, bising,
hingga marah.
Di
negara kita, ada masa di mana ajakan perubahan di radio menjadi
semacam nenek tua yang cerewet bagi Soe Hok Gie, di mana kata-kata,
seperti, revolusioner, neo-imperialisme, hingga nasakom, terdengar
begitu memekakkan telinga. Gie terutama sekali muak dengan segala
kicauan para generasi tua. Paling tidak, itulah yang tampak dalam
film Gie (2005) garapan Riri Riza dan Mira Lesmana.
Seruan
untuk perubahan memang tidak sepenuhnya digubris. Ia tak jarang tak
jauh beda dengan iklan jamu di radio yang gaduh. Di luar sana,
tepatnya Iran, sebuah film mengatakan demikian. Adegan seruan angkat
senjata dari sebuah radio kepada siapapun yang berani menodongkan
“tangan besi” tidak lebih baik dari adegan lain. Film The Hunter
(2010) garapan Rafi Pitts, paling tidak, menampikan secuil adegan di
mana sebuah ajakan perlawanan pada perusuh lebih banyak diacuhkan
ketimbang diindahkan.
Orasi
dari mulut radio bersanding dengan sebuah lanskap negara yang lebih
banyak menyajikan sebuah birokrasi yang cerewet; jalan penuh sesak
oleh mobil tak berkesabaran; keadilan yang lagi-lagi, tidak hanya di
Iran tapi juga di hampir seluruh dunia, begitu mahal harganya.
Kondisi umum yang marak di negara manapun.
Film
ini berkisah tentang seorang lelaki pekerja swasta, Ali Alafi.
Istrinya terbunuh dalam sebuah insiden penembakan ketika menjemput
sang anak. Peliknya, si anak juga raib. Polisi dan birokrat acuh atas
kasus ini. Kondisi psikologis Ali begitu terguncang atas kejadian
ini. Dan meledaklah kesedihan itu. Ia menembak dua polisi sebagai
luapan kekesalan tak tersalurkan.
Tak
Cerewet
Satu
hal yang membuat film ini menjadi hiburan tak picisan adalah karena
pada kondisi yang karut marut itu, film ini justru hadir tanpa sebuah
kecerewetan. Kecerewetan realitas yang kerap disuguhkan film-film
Amerika absen dalam film yang sepenuhnya didukung oleh German Federal
Culture Fondation dan Goethe Institute ini.
Pemunculan
sekelompok pemuda bermotor besar, dengan sebuah lambang bendera
Amerika yang terbentang di jalan beraspal, bisa jadi menandakan
sebuah hasrat untuk tidak menampilkan film secara amerikaisme. Di
tembok sebelah kanan terlihat jelas poster, yang dari pengamatan
saya, kemungkinan besar adalah tokoh berpengaruh di sana. Tapi, hal
ini baru semacam dugaan. Pada hemat saya, bagaimana mungkin tokoh
tidak berpengaruh akan dipampang di tepi jalan. Kita tentu bisa
membandingkannya dengan mural tokoh Munir atau Soekarno yang kerap
dimuralkan di Indonesia. Perlawanan tampil secara simbolis-ekspresif
dan terbuka. Iran memang muak dengan Amerika.
Yang
terang, film ini menyuguhkan sebuah fragmen tidak melulu menampilkan
kisah besar. Ali Alafi hadir di antara petilan-petilan kondisi Iran
secara natural: perempatan jalan tanpa lampu merah-kuning-hijau;
kondisi jalan bertingkat yang gaduh; birokrasi yang macet; dan
terutama sekali, betapa nyawa adalah sebuah guyonan. Ia bisa saja
didiamkan karena tak lucu. Dan pada lain kesempatan, nyawa dijadikan
objek tertawaan tanpa batas henti. Dan perubahan, barangkali sama
ketika zaman revolusi terjadi di Indonesia. Berbahaya sekaligus
picisan bagi sebagian orang.***