Negara ini menyimpan cerita
panjang terkait hal-hal berbau militer. Lebih dari tiga dekade kekuasaan
Orde Baru memerintah negeri ini lewat pola pikir militeristis. Akibatnya, sampai
kini masyarakat kita cenderung menganggap orang berjabatan militer pantas untuk
ditakuti, dihormati, sekaligus “dijauhi”.
Di satu
sisi, masyarakat bangga bila anggota keluarganya menjadi polisi, tentara,
ataupun aparat militer lainnya, karena dengan demikian mereka merasa memiliki
“pelindung”. Namun, di sisi lain, masyarakat seperti menjauhi atau enggan
seumpama harus berurusan atau berkonflik dengan orang berjabatan militer.
Dari pemahaman inilah kita bisa melakukan
penafsiran di balik
peristiwa yang menimpa siswi SMA bernama Sonya Ekarina Boru Sembiring di Medan, Rabu, 6 April 2016. Dalam video yang
tersebar luas di viral media sosial itu, tampak adegan Sonya tengah memarahi dan
mengancam Polwan Ipda Perida karena menghentikan mobil yang ditumpanginya saat
perayaan selesainya ujian nasional.
Sonya juga mengaku anak jenderal
berbintang dua Deputi Pemberantasan BNN Arman Depari. Setelah dikonfirmasi,
Arman Depari membantah bahwa Sonya adalah anaknya meski memiliki hubungan
keluarga. Pasca heboh
video tersebut, Sonya
tak henti-hentinya mendapat hujatan (bully) dari para
pengguna media sosial.
Lebih menyedihkan lagi, kabar perihal
kelakuan Sonya yang juga tersiar di televisi nasional, membuat Makmur Depari Sembiring, ayah
Sonya, mendadak sakit dan
meninggal dunia (Jawa Pos, 9 April
2016). Kita tentu ikut prihatin dengan duka yang menimpa Sonya. Ia tak hanya
diganjar hujatan, tapi juga kehilangan ayahnya untuk selamanya. Pengguna media sosial memang kelewat brutal dalam
memberi teguran.
Jika kita
menengok catatan sejarah, apa yang dipahami Sonya terkait “kebanggan” menjadi
anak jenderal, langsung atau tidak, tentu berkaitan dengan pemerintahan Orde
Baru selama lebih dari tiga dekade. Peter Kasenda (2013) menerangkan bahwa di era
Presiden
Soeharto militer
tampil sebagai stabilisator, dinamisator, pelopor, sekaligus pelaksana
demokrasi. Artinya, di semua lini pemerintahan, militer berperan sebagai pemain
kunci. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara pun kerap menggunakan nalar
militeristis. Tak heran bila citra semasa Orde Baru citra militer begitu ditakuti.
Orang-orang
pun kemudian bertanya, bagaimana rasanya menjadi anak jenderal. Publik mendapat
jawaban tak terlalu panjang saat terbit novel tipis berjudul Puteri Seorang Jenderal garapan Motinggo
Busye. Alasan
penerbit menerbitkan novel: Banyak
pertanyaan yang dilontarkan orang awam dan anak-anak: Enakkah jadi seorang
pembesar/pejabat? Apalagi anak seorang jenderal!
Kali pertama
terbit tahun 1979 dan mengalami empat kali cetak ulang pada tahun 1982. Jelas, novel itu laris pada zamannya. Dulu, penerbit berkepedulian meladeni pertanyaan-pertanyaan publik
lewat sajian novel. Pertanyaan mungkin telah disampaikan di kolom Surat Pembaca di koran atau majalah.
Kini, pertanyaan bisa berlimpahan di status-status Facebook, Twitter, atau BBM.
Menjadi anak jenderal tentu keistimewaan sehingga memerlukan jawaban
berupa novel. Apalagi di era Orde Baru Indonesia dipimpin oleh presiden yang
juga seorang jenderal. Novel membantu publik berandai-andai jadi anak seorang
jenderal. Lewat novel tersebut, karakter jenderal mesti dikisahkan berwibawa dan bersahaja agar
tak gampang dituduh subversif.
Novel setebal 232 halaman itu mengisahkan tokoh mahasiswi
bernama Inneke Sintawati. Inneke perempuan cerdas, suka membaca, cuek, serta
tidak gemar memamerkan kekayaan. Status anak jenderal membuatnya kerap dimintai traktiran serta
jadi sasaran hutang oleh teman-temannya. Di sisi lain, ia juga kerap pamer kesanggupannya
mencarikan pekerjaan untuk teman-teman. Inneke paham, sang ayah tentu punya banyak
relasi di perusahaan-perusahaan besar. Simak petikan berikut:“Kalau kamu dapat kesulitan cari kerja,
minta bantuan babe gue deh” kata Inneke.
Motinggo memberi sentilan kepada
orang-orang berjabatan jenderal yang kerap menggunakan pengaruh dan relasinya
untuk memuluskan keinginan kerabat atau keluarga dalam mendapat pekerjaan. Di
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
(1976) garapan W.J.S Poerwadarminta, kelakuan Inneke tentu masuk dalam kategori
“nepotisme”, yaitu tindakan mementingkan
(menguntungkan) sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam
pemerintahan. Apakah tahun 1970-1980-an para jenderal sudah berbuat nepotisme
sehingga Motinggo mengajukan sindiran dalam novelnya?
Kita perlu membuka kliping koran
lawas untuk membuktikannya. Namun, dari novel itu setidaknya kita bisa mendapat gambaran
bagaimana relasi kekuasaan seorang jenderal dengan praktik gelap nepotisme,
dari sudut pandang seorang pengarang novel populer. Terlepas dari posisi Sonya sebagai
korban brutal pem-bully-an, kita tak boleh abai dengan maksud perkataannya.
Kita
menduga Sonya berharap mendapat
perlakuan-pelayanan khusus dalam urusan birokrasi
maupun aturan hukum dengan mengaku sebagai anak jenderal. Dari
peristiwa ini kita bisa sedikit memberi kesimpulan: Sonya sangat mungkin hanya pucuk
dari gunung es mental manusia Indonesia hari ini yang gemar mencatut nama dan
jabatan untuk bernepotisme. Revolusi mental masih jauh korek dari sebatang
rokok. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar