Foto: Gardens by the Bay di Singapura |
Di sebuah kota yang penuh gedung,
jalan raya, dan lalu lintas kendaraan, keberadaan ruang terbuka hijau memang
begitu penting. Taman, misalnya, memungkinkan pertemuan antar sesama warga bisa
terjalin. Sehari-hari, orang disibukkan oleh aktivitas kerja di rumah, kantor,
pabrik, pusat
perbelanjaan, atau jalan. Hubungan antar individu pun kerap hanya mengandalkan
telepon seluler atau media sosial.
Taman memberi kesempatan agar
orang-orang di kota besar tak semakin individualis. Taman bisa dimanfaatkan
untuk bersantai, menikmati sore, santap jajan, atau berbincang bersama rekan,
tak melulu di kafe, kedai kopi, restoran, atau hotel. Taman sanggup memberi jeda bagi mata di antara
pemandangan jembatan layang, kendaraan yang terburu-buru, juga kondominium yang
menjulang tinggi. Kota-kota memerlukan taman bukan untuk sekadar mempercantik
pemandangan. Pembuatan taman justru guna memanusiakan kaum urban.
Sejak dulu, kesadaran bertaman
memang sudah tercatat di Indonesia. Di era kolonial, taman-taman biasa dibangun
di depan, belakang, atau samping rumah penguasa. Masyarakat pribumi biasa
menganggap taman sebagai kebon raja.
Alasannya, hamparan tanah berumput yang luas disertai pohon dan tanaman bunga
itu identik dengan sebutan “kebon”. Mereka berkeyakinan bahwa semua benda di
negara ini adalah milik raja (Raap, 2015:285). Gambar kartu pos di masa lalu pun sempat mendokumentasikan
taman-taman terkenal di Hindia Belanda, di antaranya Taman Pieter, yang
sekarang menjadi Taman Balai Kota Bandung, dan Taman Sriwedari Solo.
Akhir-akhir
ini pun media massa sering memberitakan taman-taman di kota besar. Kita,
setidaknya, bisa menyebut
Tri Risma Maharani dan Ridwan Kamil sebagai walikota penggemar taman. Mereka mengkreasikan lahan-lahan kosong
untuk dialihfungsikan menjadi taman. Risma tenar sebagai walikota perempuan
yang tak tanggung-tanggung mengurusi taman. Berita di televisi pernah menyiarkan
adegan Risma ngamuk melihat taman
kota yang rusak akibat terinjak-injak pejalan kaki saat
berlangsung car free day, hari tanpa
kendaraan.
Di Bandung, Ridwan Kamil
memanfaatkan kolong jembatan sebagai taman dalam pelbagai tema, ada Taman Film,
Taman Jomblo, dan Taman Skate. Pemberian nama itu menggelitik. Di taman itu, publik tak sekadar
bersantai atau mengobrol. Mereka bisa menonton film dan bermain skateboard. Bagi dua walikota itu, mengurusi
taman memang sama pentingnya dengan membangun jalan atau menyediakan jaminan
kesehatan bagi warga miskin. Kerinduan publik pun pelahan-lahan tersalurkan. Dan terbukti, publik menyambut
gembira keberadaan taman-taman itu. Kesuksesan mengurusi taman bahkan sanggup
mengerek ketenaran dua tokoh ini sebagai walikota berprestasi.
Jauh sebelum taman-taman garapan
dua walikota itu ramai dikabarkan media, negara ini pernah memiliki proyek
prestisius bernama Taman Mini Indonesia Indah. Meski menyandang kata “mini”, bukan berarti taman itu seukuran halaman rumah. Taman
justru berukuran jumbo karena diharuskan memuat pelbagai jenis miniatur rumah,
tradisi, dan hasil-hasil budaya daerah. Dalam buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010) dikisahkan bahwa pembangunan Taman
Impian Jaya Ancol (TMII) di Jakarta berawal dari ide Bu Tien Soeharto. Soekardjo
menerjemahkan taman dalam pandangan Bu Tien sebagai “wahana rekreasi yang merefleksikan
budaya asli Indonesia yang begitu beragam dengan segala keunikan dan
perkembangannya”.
Bagi Ibu
Tien, bertaman itu berbudaya. Ibu Tien ingin menyatukan pelbagai kekayaan bangsa ini dalam satu miniatur
yang terpusat di Jakarta. Para pelancong seolah cukup mengunjungi TMII untuk
mengerti kekayaan budaya dan tradisi di Indonesia. Ambisi membuat taman mungkin
terkesan mulia meski berimbas pada pengerdilan wilayah-wilayah di luar Jakarta.
Saat itu, mata dunia mungkin tergiur mengunjungi TMII tapi lupa menengok daerah
pinggiran Indonesia. Seolah, keragaman budaya Indonesia terwakili oleh TMII.
Dan sejak taman kembali mendapat
perhatian dari beberapa pemimpin daerah, publik mulai menantikan kemunculan
taman-taman lainnya. Hal inilah yang mungkin ditangkap oleh tetangga kita,
yaitu Singapura, untuk mempromosikan Gardens
by the Bay, sebuah taman dalam ruangan yang diklaim masuk kategori 10 terbaik
dunia (Kompas, 4 April 2016). Iklan
itu memberi rayuan: “mempersembahkan lebih dari 1 juta flora dengan 5.000
spesies lebih”. Singapura menangkap kerinduan publik kita atas taman-taman yang
nyaman, dan merayu kita untuk berkunjung ke sana berpamrih menikmati keindahan
taman dalam ruangan.
Lantas,
akankah kita tergiur? Kita berharap agar publik tak lupa bahwa negara ini berlimpah taman. Pembuktian bisa kita
simak dalam majalah Gatra (31 Maret–6 April 2016) lewat laporan khusus bertajuk 10 Taman Bumi Nusantara. Pembaca diajak melacak taman-taman
berkonsep geopark (taman bumi) di
seluruh penjuru negeri. Dari Taman Bumi Batur di Bali, Kaldera Tambora di
Sumbawa, hingga Raja Ampat Papua. Di Indonesia, taman bukan imitasi atau bonsai,
yang mesti dibuat di dalam ruangan. Taman-taman itu kekayaan yang tak mesti ada di
negara lain. Jadi, jangan sampai kerinduan kita pada taman dimanfaatkan negara
lain. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar