Potret Ibu Presiden Soekarno karya Lim Wasim |
Menjelang 71 tahun perayaan
kemerdekaan Indonesia, Presiden Joko Widodo berkeinginan menyelenggarakan
sebuah tradisi baru dari Istana Negara, yaitu pameran lukisan. Bukan pameran
sembarangan, karena bakal menyuguhkan koleksi seni rupa milik Istana Negara. Pameran
ini mengusung tema “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan”, berlangsung sebulan
penuh selama Agustus (Kompas, 15 Juli
2016).
Tak usah kita tebak, pameran itu
tentunya bakal menampilkan banyak lukisan koleksi mantan Presiden Soekarno.
Kita tahu, Soekarno adalah maniak lukisan. Selera seninya pun dianggap bermutu
tinggi. Mikke Susanto, dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta sekaligus
anggota tim kurasi pameran, mengakui “setelah Presiden Soekarno, kita tidak
memiliki presiden yang punya keintiman dengan seni rupa”.
Pernyataan Mikke patut kita
cermati. Tentu saja, kesukaan seorang
pemimpin, apalagi presiden, dengan seni bisa berpengaruh pada
kebijakan-kebijakan di bidang seni dan budaya. Hal itu kelak ikut menentukan,
misalnya, besaran anggaran negara yang bakal dialokasikan di bidang seni.
Di masa lalu, kegemaran Soekarno
pada seni memberi
karakteristik pada gaya kepemimpinannya. Dampak paling terlihat adalah pada
bagaimana seni berkelindan erat dengan visi politik Soekarno. Bagi Soekarno,
seni harus menjadi alat peneguh persatuan, pemberi identitas kultural, serta
mampu menyokong kebanggaan atas bangsanya. Singkatnya, seni yang mewakili jiwa
rakyatnya.
Wajar bila secara pergaulan
Soekarno begitu akrab dengan para seniman, terutama seni rupa. Agus Dermawan T
(2016) mengisahkan kegemaran Presiden Soekarno menghabiskan waktu di pagi hari bersama
Lim Wasim, pelukis sekaligus orang yang ia percayai merawat ribuan koleksi
lukisannya, untuk berdialog perihal mutu sebuah lukisan. Tokoh inilah yang
kemudian berperan menyelamatkan lukisan-lukisan itu ketika terjadi geger
peristiwa 1965.
Presiden Soeharto, secara pribadi,
justru punya pandangan berseberangan dengan Soekarno. Soeharto cenderung tak merestui
bila seni, apalagi berbasis kerakyatan, memiliki ruang gerak yang leluasa.
Soeharto memimpin negeri ini dengan orientasi pembangunan yang militeristik
sehingga kurang memiliki ketajaman naluri seni, secara personal maupun
kebijakan pemerintahannya.
Alhasil tak banyak kita jumpai catatan yang menyebutkan
kedekatan Soeharto dengan seni. Meski begitu, Soeharto pernah merestui
terbitnya buku Surat dan Puisi Anak-anak
Pak Harto (1992) susunan G. Dwipayana dan S. Smansari Ecip. Soeharto
bersentuhan dengan puisi! Soeharto bersedia menerima puisi dari anak-anak di pelosok negeri. Meski bertahun-tahun
kemudian terjadi sebaliknya, Soeharto begitu murka dengan puisi-puisi yang mengkritik
pemerintahannya, salah satunya karangan penyair Wiji Thukul.
Lain Soeharto, lain pula
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dialah presiden yang memiliki selera bacaan seni,
khususnya sastra dan film, yang tinggi. Seperti dikisahkan Greg Barton (2003),
Gus Dur adalah pelahap buku-buku sastra kelas wahid. Semasa kuliah di Kairo,
Gus Dur melewatkan hari demi hari dengan berkeliling dari satu perpustakaan ke
perpustakaan universitas besar di sana. Gus Dur khatam novel-novel William Faulkner,
Ernest Hermingway, Leo Tolstoy, Frans Kafka, hingga prosa-prosa Edgar Allan
Poe.
Gus Dur juga doyan menonton film-film
rilisan Inggris, Eropa, dan Amerika. Di Kairo Gus Dur merasa bebas menonton
film mana pun. Tidak seperti saat di Yogyakarta, di mana statusnya sebagai
putera tertua almarhum Kiai Wahid Hasyim membuat setiap gerak-geriknya kerap
diamati publik. Pengalaman bacaan dan tontonan yang begitu rupa pada akhirnya
membentuk watak dan kepemimpinan Gus Dur yang humanis dan begitu menjunjung
kebebasan dan hak asasi manusia.
Kita pun pada akhirnya tidak bisa
untuk tidak menyebutkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden yang memiliki
jiwa seni tinggi. Dialah presiden sekaligus penyair dan pengarang lagu. Tiga
buku puisi yang ia terbitkan, yaitu Taman
Kehidupan (2004), Membasuh Hati
(2010), dan gabungan dua kumpulan puisi berjudul Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014). Meski berlatar-belakang
militer, SBY tak canggung untuk menulis puisi dan mengarang lagu.
Jiwa seni yang dimiliki oleh
masing-masing presiden memang tak menjanjikan kesuksesan padanya dalam memimpin
negara dan pemerintahan. Namun, kecintaan juga dorongan dan perhatian presiden
kepada seni, paling tidak, sanggup memberi jeda. Kaum politisi dan pejabat,
menyitir ungkapan Mustofa Bisri, telanjur bercap “terlalu sibuk dengan urusan
fisik dan materi, sehingga tak punya waktu untuk urusan yang berkaitan dengan
batin dan jiwa”. Sehingga ketika mereka memberi perhatian pada seni, apalagi
menjadi pelaku sekaligus, tentu jadi sesuatu yang beda.
Nah, kita doakan saja agar
pameran lukisan yang
diselenggarakan pihak Istana benar-benar mencerminkan perhatian dan jiwa seni
Jokowi yang paling jujur. Bukan semata karena Soekarno, sebagai kolektor
sebagian besar lukisan yang akan dipamerkan, adalah bapak ideologis bagi partai
yang menaungi Jokowi. Saya percaya, Jokowi
tidak sedang memanfaatkan pameran itu untuk urusan politiknya. []
Wawasan, 29
Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar