Di era Orde Lama, patron seni
rupa Indonesia berkiblat
pada selera Presiden Sukarno. Seni disituasikan untuk menyokong misi politik dan gagasan
Sukarno. Tak ayal lagi, seniman yang sanggup menggugah
selera seni Si Bung dijamin bakal mendapat perhatian khusus.
Salah satu
seniman yang menarik perhatian Sukarno adalah Lee Man Fong. Reputasinya sebagai pelukis mulai
dipandang sejak lukisannya yang berjudul Telaga
Warna dibeli oleh kolektor terkenal, Gubernur de Jonge. Tahun 1950, ia juga
mendirikan perkumpulan seniman Tionghoa bernama Yin Hua. “Yin” artinya Indonesia,
dan “Hua” artinya Tionghoa.
Kepopuleran Man Fong merangsang Sukarno
menjadikannya pelukis istana. “Reputasi artistik dan
organisasi ini yang meyakinkan Bapak untuk mengangkat Man Fong jadi Pelukis
Istana menggantikan saya,” tulis Agus, mengutip Dullah, Pelukis Istana
sebelumnya (hal.58).
Man Fong ditugasi membuat mural
berjudul Margasatwa dan Puspita Indonesia
untuk Hotel Indonesia dan menyusun
buku koleksi lukisan Sukarno sebanyak 5
jilid. Keterlibatan Man Fong dalam proyek besar Istana itu berbuah
manis. Ia mendapat kado istimewa dari Sukarno,
yaitu “pengesahan status kewarganegaraan Indonesianya yang bertahun-tahun tak
pernah terealisasi”(hal.61).
Kisah
kedekatan Man Fong dan Sukarno dikisahkan secara apik oleh Agus Dermawan T
dalam buku Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa (2016). Selain Man Fong, ada dua seniman rupa
Tionghoa lainnya, yaitu Siauw Tik Kwie dan Lim Wasim. Agus mengisahkan tiga tokoh itu dalam
kerangka narasi yang menaut pada relasi kekuasaan, politik, dan gesekan
ideologi.
Nasib
menjadi pelukis istana juga menghampiri Lim Wasim, pelukis berbakat
lulusan Central Institute of Fine Art Beijing, 1950-1956. Keterlibatan Lim Wasim dalam proyek istana mengantarkannya menjadi orang
dekat Sukarno. Ia mendapat wasiat untuk menjaga, merawat, memperbaiki, hingga
memodifikasi, koleksi lukisan-lukisan Sukarno.
Ada kisah unik saat Lim Wasim
diminta memperbaiki sebuah lukisan, karya pelukis luar negeri, bergambar wanita
telanjang. Menurut Sukarno, salah satu payudara wanita dalam lukisan itu terlalu
kecil. Sukarno menganjurkan Lim Wasim mengoreksi lukisan menggunakan model,
yaitu wanita yang bekerja di lingkungan Istana, agar presisinya lebih tepat.
Bisa ditebak, wanita itu menolak dijadikan model buah dada.
“Janganlah menolak, ini tugas negara,” ucap Sukarno. Lim Wasim pun akhirnya
sukses “memperbaiki” lukisan itu, dan Presiden nampak puas dengan hasil
pekerjaannya. Lim Wasim mengakui, untuk ukuran lukisan, Sukarno memiliki ketajaman
naluri seni yang ampuh. Terbukti setelah diperbaiki lukisan jadi lebih bagus (hal.200).
Berbeda dari dua karib
seangkatannya yang populer sebagai “orang Istana”, tokoh Siauw Tik Kwie justru lebih
dikenal sebagai komikus serial Sie Djin
Koei di majalah Star Weekly.
Komik ini mengusung cerita-cerita Tiongkok, dengan penggambaran yang mengadopsi
tokoh-tokoh Wayang Potehi.
Sepanjang tahun 1960an, Siauw tercatat
memegang rekor atas 700 episode yang terbit tiap minggu tanpa jeda. Siauw juga
dianggap sebagai guru di kalangan seniman karena getol menyerukan sikap dan
rasa cinta Tanah Air dalam berkesenian maupun dalam menilai karya seni.
Karir tiga
seniman itu terus moncer
hingga kemudian mengalami goncangan saat meletus Kudeta 1965. Partai
Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai dalang di balik peristiwa itu, dan negara Cina yang memang
berhaluan komunis dituduh terlibat. Tak pelak, identitas ketionghoaan mereka pun disangkutpautkan dengan Baperki,
sebuah organisasi Tionghoa yang berafiliasi dengan komunis.
Tuduhan itu
berimbas pada nasib orang-orang Tionghoa. Sejak kelahiran Orde Baru, nasib para
seniman Tionghoa pun kian terpojok. Untuk sekadar pameran atau memasarkan
karya, mereka mesti sembunyi-sembunyi. Sedangkan Lee Man Fong memutuskan memilih
hidup di luar negeri. Tiga nama seniman ini pun hilang dari catatan sejarah.
Bermodal
dokumentasi wawancara dan ketelatenan mengurusi data-data di masa lalu, Agus sanggup mencatatkan kembali jejak-jejak tiga seniman Tionghoa itu dalam narasi besar sejarah (seni rupa) Indonesia. Agus
mengungkap hasil pemikiran dan karya mereka demi pembuktian keindonesiaan dan
nasionalisme.
Bagi Agus,
tiga seniman tersebut mewariskan jasa dan hasil pemikiran yang berharga bagi
bangsa Indonesia. Gagasan pluralisme Lee Man Fong dianggap mewakili jiwa
nasionalisme para kaum Tionghoa di Indonesia. ”Orang-orang Tionghoa di
Indonesia semestinya sejak dulu diposisikan sebagai “suku Tionghoa”, yang
posisinya sama belaka dengan “suku Madura”, “suku Batak”, “suku Sunda”, dan
sebagainya,” tulis Agus
mengutip Lee Man Fong.
Sedangkan Siauw
Tik Kwie adalah orang yang berjasa menerjemahkan pemikiran filsuf Jawa Ki Ageng
Suryomentaram ke dalam berjilid-jilid buku. Ia pun menggunakan nama samaran Otto Suastika agar tak
diintai oleh penguasa Orde Baru. Dan berkat ketelatenan Lim Wasim pulalah ribuan koleksi lukisan dan benda
seni warisan Sukarno,
yang pada saat pergantian kekuasaan terancam
oleh pencurian dan penjarahan, hari ini masih bisa kita nikmati.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar