Lagu, bagi Wustuk, adalah
antitesis dari segala yang terjabarkan di awal. Lagu bukan pelengkap suasana,
barang dagangan, atau rangkaian nada tanpa makna. Lagu adalah sikap, ideologi,
serta bentuk riil dari sebuah keberpihakan. Untuk itu, lewat buku berilustrasi
serba hitam putih inilah, Wustuk membongkar isi kepala dua pendekar grunge Indonesia idolanya: Candra
Hendrawan Johan alias Che dari grup Cupumanik dan Gede Robi Supriyanto alias
Robi dari grup Navicula. Dua tokoh itu dipilih,
setidaknya, karena kesamaan cara pandang keduanya dalam memosisikan lagu
ciptaannya.
Robi menganggap lagu-lagunya
adalah saripati atas identitas dan entitas ke-Bali-annya. “Sebagai orang Bali,
filosofi dasarnya dalam berkreasi adalah menangkap apa yang ada, menyaringnya,
dan kemudian melahirkan karya yang kembali ke semesta”. Lagu, pada akhirnya, adalah
kendaraan bagi pesan-pesan yang hendak Robi suarakan. Wustuk mencatat pelbagai
hal-hal di balik
penciptaan sebuah lagu. Dari
pengalaman terjebak macet di Jakarta, misalnya, Robi menulis lagu sarat
kritik berjudul Metropolutan.
Robi memang cukup dikenal
sebagai aktivis lingkungan hidup. Bersama Navicula, Robi pernah turun langsung
ke daerah di Kalimantan untuk melayangkan protes. Ia pun menjadikan lagu-lagunya sebagai kampanye dan protes atas pelbagai
isu kerusakan lingkungan. Lihatlah di
kanal Youtube video lagu berjudul Busur
Hujan. Di atas sebuah kapal legendaris Rainbow Warrior milik organisasi
Greenpeace, Robi bersama Navicula melantunkan ajakan untuk peduli pada isu-isu
perubahan iklim. Lirik lagu puitis lagi metaforis itu dipadu dengan nada-nada yang enak
didengar. Busur hujan di cakrawala/
Manusia titipkan mimpinya di sana....
Jika Robi menulis
lagu bertolak dari isu lingkungan, Che selalu melandasi lagu-lagunya dengan
empati. Lagu memanifestasikan pengalaman batin
dan pergulatan pemikiran. Empati muncul ketika nurani Che terguncang
akibat berita bencana, tragedi, atau pengalaman kelam yang pernah ia alami. Empati diolah menjadi satu tema
besar, untuk kemudian dipadukan dengan chord
lengkap serta nada vokal.
Setelah tahapan ini terlewati,
barulah sebuah lirik akan ditulis. Bagi Che, “lagu adalah bunyi perasaan”.
Karena itu, menulis lagu sungguh bukan proses yang sederhana.
Wustuk mencatat bagaimana Che, pada
lagu-lagu tertentu, mesti melewati “masa kritis”. Proses pembuatan lagu Broken Home, misalnya. Trauma masa kecil
akibat perceraian orangtua begitu membekas di ingatan Che. Menulis lagu
dimaksudkan sebagai penyembuh luka dan trauma. Tak heran bila lagu tersebut begitu personal, “sampai-sampai
tidak satu pun anggota band-nya
diperkenankan hadir saat take vocal…Menanggalkan
semua atribut jantan seorang rocker, dia membiarkan dirinya menangis”.
Hal yang tak kalah penting bagi
Che dalam menulis lirik lagu ialah buku. Buku jadi rujukan tak tertangguhkan.
Dalam bab Cakrawala: Buku dan Aku adalah
Satu, Wustuk mengulas tuntas buku-buku kesukaan Che. Dari karya YB Mangunwijaya,
Emha Ainun Nadjib, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, Ali Syari’ati, Ibnu
Arabi, hingga buku-buku marketing karya Richard Learmer dan Peter Drucker. Referensi
bacaannya itu bisa menjelma petikan lirik, judul, atau inspirasi dalam membuat
video musik.
Che banyak belajar dari pemikiran
Peter Drucker, terutama terkait siasat menambah
daya dobrak dalam karya. Hasilnya, lagu
berjudul Grunge Harga Mati. Tak hanya
provokatif secara judul, video ini juga eksplisit menampilkan gambar besar para
dewa grunge, sebut saja Kurt Cobain,
Eddie Vedder, Layne Staley, dan Chris Cornell, sebagai latar video. Kelahiran
lagu dipicu keprihatinan Che melihat antusias pecinta musk grunge yang kian hari makin susut. Juga keputusan beberapa musisi
senior enggan menampilkan diri sebagai musisi grunge.
Keputusan Wustuk menulis tokoh grunge tentu tak bisa dipandang biasa.
Di kalangan indie, perlu diakui, scene atau komunitas grunge tak
semoncer musik jazz. Kematian Kurt Cobain tahun 1994 sempat dianggap sebagai
akhir kejayaan grunge di dunia. Tapi
Wustuk menampik hal itu. Dengan menulis perjalanan Che
dan Robi dalam menbuat lagu, terawetkanlah sekeping jejak musik grunge di Indonesia.
Buku ini
menjadi penting karena mengupas dua tokoh yang kukuh bersetia di jalur grunge. Juga sikap dan pesan yang hendak
mereka sebarkan lewat lagu-lagunya. Ia menolak tegas menganggap musik sebagai
pelengkap suasana belaka. Dan seumpama para penggemar musik lain melakoni kerja kreatif seperti apa yang Wustuk lakukan, kita tentu tak takut akan kehilangan jejak-jejak musik indie di Indonesia akibat dokumentasi
literatur yang sangat minim. Menikmati musik memang tak sekadar menyetelnya keras-keras atau bergembira ria saat
mendatangi konser. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar