“Sebaik-baik warisan seorang intelektual adalah kata-kata,
gagasan, dan karya.”
Budayawan Darmanto Jatman mungkin
sudah kalah oleh usia dan kesehatan yang memaksanya tak berdaya di atas kursi
roda. Namun, kita semua tahu, tatahan ide, gagasan, dan hasil pemikirannya,
masih terus menemani kita, sampai hari ini. Tanggal 16 Agustus tahun ini, Pak
Dar, begitu biasa saya menyebut, genap berusia 74 tahun.
Bagi publik, Pak Dar memang lebih
kita kenal sebagai seorang penyair. Puisi-puisinya nakal, tajam, sarat kritik,
dan pada saat yang bersamaan sanggup menampilkan jatidirinya sebagai penyair
beralam-pikir Jawa tulen. Pak Dar adalah pembaca dan pengagum teks-teks Ki
Ageng Suryomentaram.
Tetapi kita tak boleh lupa, ada satu
masa di mana Pak Dar moncer sebagai seorang kolomnis dan penulis opini yang
kritis. Sebuah buku kecil dan tipis berjudul Keberingasan Intelektual mencatat dengan apik esai-esai khas Pak
Dar awal 1990-an. Buku ini diterbitkan tahun 1995 oleh Panca Agni bekerjasama
dengan koran Manunggal (UNDIP).
Esai-esai di buku ini semula terbit
dalam bentuk semacam tajuk rencana di kolom “Gaung” koran Manunggal. Buku bersampul sederhana, berwarna cokelat, dengan
ilustrasi gambar tembok jebol. Sang ilustrator mungkin beranggapan kolom-kolom
Pak Dar sanggup menjebol dinding—dinding kebebalan, dinding kebanalan, dinding
birokrasi.
Buku tipis tapi menggoda. Di esai
pengantar berjudul Siapa pun Boleh Bicara,
Drs.Budi Maryono menganggap “Darmanto kadang memberikan solusi, kadang tidak
sama sekali, atau malah hanya bertanya. Namun, tak jarang, pertanyaannya adalah
kritik/autokritik yang jauh lebih menyodok ketimbang sekian puluh pertanyaan”.
Tahun 1990-an, melempar kritik tentu berisiko, apalagi kepada rezim Orde Baru.
Sebagai seorang Jawa sejak dalam
pikiran, Pak Dar tentu bukan tukang kritik yang galak. Pak Dar justru berusaha
keras menyajikan tulisan “kritik tanpa menghina”. Selaras dengan apa yang Pak
Dar tulis dalam puisi Hai Sapi! (ed. Heru Emka, 2012): Kalau ngeritik jangan menista orang/ kalau berteori jangan
mengelabui orang/ kalau bikin pernyataan jangan mengelabuhi orang.
Kritik
Di Buku ini, Pak Dar memang
banyak menyoroti peristiwa-peristiwa seputar akademik, kampus, mahasiswa, serta
isu-isu politik. Esai berjudul Seminar
Komersil, bertarikh Edisi 9 Th VI Maret 1987. Esai mirip parodi, sarat
dialog sindiran oleh tokoh Delul dan Centhil. Pak Dar mengajukan sindiran atas
ulah para profesor yang gemar bikin “bisnis” seminar.
Seminar-seminar tentu bertarif
mahal, menghadirkan pakar berlabel intelektual. Kini, kian hari bisnis seminar
kian bersimaharajalela. Seminar tak lagi di kampus atau gedung pertemuan, tapi
di hotel berbintang hingga restoran mahal. Esai Pak Dar ini hampir berumur 20
tahun tapi masih pantas dibaca sampai hari ini sebagai bahan renungan.
Pak Dar peka menangkap
gejala-gejala “penyimpangan” yang menjangkiti para kaum terpelajar. Baginya, intelektual
mesti berpihak kepada wong cilik dan tak boleh terseret dalam nalar
kapitalistik. Hukumnya harga mati. Tak mengherankan bila pada beberapa
tulisan-tulisannya yang menyinggung sikap seorang terpelajar, Pak Dar begitu
tajam mengkritik, hingga bertebaran tanda seru di setiap tulisannya.
Dalam
tulisan Para Profesor, Profesionalkah
Anda? Pak Dar menulis:”Kepada mereka yang sibuk mengumpulkan kum 850 atau
bahkan 1000, ada baiknya kita berkata: Mari duduk dan berbincang-bincang
sejenak. Benarkah tuan seorang pro, Profesor?!” Belasan tahun kemudian, kritik Pak Dar atas ketidakjelasan sikap profesor itu
mendapat sambungan. Terry Mart, fisikawan
Universitas Indonesia, lewat tulisan berjudul Menggugat
Kinerja Profesor (Kompas, 11
November 2015),
menggugat etos para profesor yang hanya mengejar kum semata.
Buku
Dari tahun ke tahun,
rasa-rasanya permasalahan yang menimpa kaum bercap intelektual belum juga
beranjak. Bahkan kritik-kritik yang dilancarkan Pak Dar di masa lalu terus saja
berulang sampai hari ini. Kekerasan di lingkungan pendidikan, nalar ekonomistik
kaum terpelajar, hingga etos yang semakin keropos, jadi jamur yang tak pernah mau
mati. Dalam kerangaka inilah sebenarnya buku Keberingasan Intelektual pantas jadi rujukan dan renungan. Dari
beliau kita diingatkan untuk tetap menjaga akal sehat agar tak terlindas zaman,
yang kian hari kian edan.
Gagasan
Gunawan Budi Susanto dalam diskusi “Darmanto
Jatman Siapakah” di Taman Budaya Raden Saleh (15/08/2016) untuk mengagendakan
penerbitan buku berisi apresiasi karya-karya
Pak Dar sebagai penyair, akademisi, kolomnis, intelektual,
budayawan, juga pemerhati arsitektur, tentu sangat berfaedah. Pembukuan ini
bakal
mengawetkan
sosoknya sebagai tokoh mumpuni persembahan kota Semarang untuk Indonesia. Di masa depan, buku itu bakal jadi
bukti sahih ketokohan Pak Dar. Buku berpindah dari satu pembaca ke pembaca
berikutnya, dari generasi ke generasi. Pemuliaan atas sosok Pak Dar pun tak akan
terputus. Amin.
Pak
Dar, sugeng ambal warso….
(Tribun Jateng, 20 Agustus 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar