Manusia urban menempatkan kampung
halaman sebagai tempat berpulang. Di
kampung, orang-orang beristirahat, bernostalgia, dan mengurai segala kepenatan.
Sejauh apa pun kita mejelajahi waktu di perantauan, kampung tetap merangsang
kerinduan. Kota yang banal, sibuk, gersang, dan terburu-buru, berkebalikan
dengan kampung yang lamban, ramah, dan teduh.
Pemaknaan kampung dan kota pun
beseberangan. Kota tak akan sanggup menggantikan kampung. Kampung harus tetap
ada demi mengimbangi pertumbuhan kota yang semena-mena. Kampung ibarat pemberi
angin segar bagi manusia, pupuk bagi keimanan menjadi manusia beradab. Meski
begitu, pada akhirnya kita pun tak kuasa “menahan” modernitas masuk kampung. Kampung
bergerak mengikuti perubahan zaman. Kita gelisah membayangkan wajah kampung
bakal mengikuti nasib kota.
Perubahan “wajah” kampung bisa
kita lacak lewat sekian karya sastra. Para pengarang ibarat pembaca tanda-tanda, penangkap
simtom-simtom perubahan zaman. Pengarang melihat
kampung sedang merangkak menjadi kota tapi tak tahu arah dan peta yang jelas. Kampung
terkepung agenda pembangunan dan kapitalisme. Satu demi satu, lahan sawah,
hutan, dan perkampungan diincar untuk digantikan hotel, pasar modern, dan
perumahan mewah.
Cerpen Dalam Pusaran Kampung Kenangan (Horison,
XXXIX/2005) karangan Puthut EA secara eksplisit mengisahkan kampung yang
berganti wajah. Cerpen itu berkisah perihal seorang pemuda yang mendapati
kampungnya berubah, tak seperti saat ia masih bocah. Konon, kampung pemuda itu dulu
begitu meriah. Banyak pemuda berkumpul di warung kopi dan mengobrolkan apa
saja. Surau-surau tak pernah sepi dari bocah-bocah mengaji atau sekadar bermain
dengan teman-temannya.
Puthut bercerita: Perubahan yang diam-diam kami sembah dan
kami ikuti, tetapi semuanya hanya setengah hati. Dan ketika kampung kami terseret
dalam arus yang hampir sama, kami tidak bisa terima, kami tidak bisa ikhlas,
dan kami mungkin tidak adil. Puthut memberi pengisahan reflektif, mengingatkan
kita agar tak terlalu menghamba pada perubahan. Saat musim pemilu, kata
“perubahan” justru bisa terdengar ratusan kali sehari, dari iklan televisi
hingga panggung kampanye.
Di koran dan telivisi, kampung gampang
masuk pemberitaan: jalan rusak, rumah tak layak huni, serta pengangguran yang
berlimpah. Orang kampung mungkin tak memungkiri jika mereka berharap
jalan-jalan kampung diaspal dan fasilitas umum dibangun, seperti halnya di kota-kota
besar.
Namun, pembangunan tak jarang
berlagak sembrono. Pembangunan itu melibas citra kampung yang sejuk dan rukun. Orang-orang
berduit tak hanya membuka minimarket yang mengancam pasar tradisional. Pabrik-pabrik
ikut masuk kampung. Pabrik itu menggoda warga agar lekas bekerja tanpa harus
berpendidikan tinggi-tinggi. Sekolah menjadi tak menarik akibat pabrik
mengiming-imingi mereka pekerjaan bergelar buruh.
Dalam novel Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (2009), S Prasetyo Utomo penuh
kegetiran mengisahkan kampung sebagai tumbal kapitalisme berkedok pembangunan.
Secara terperinci, Prasetyo mengisahkan: Tak
lagi kulihat ketenangan manusia yang bermukim di dalamnya. Mereka berperangai
gelisah. Pada hamparan tanah luas bekas kebun dan sawah, di sisi hutan karet
yang dibabat, mulai didirikan rumah-rumah baru. Truk datang membawa bahan
bangunan, terguncang dengan sarat bak muatan….
Prasetyo memilih ungkapan “tak
lagi kulihat ketenangan”
dan “gelisah” untuk menjelaskan apa yang ia lihat-rasakan perihal kampung. Bagi
Prasetyo, kampung sudah ikut-ikutan berisik, jauh dari ketenangan.
Berbeda dengan Prasetyo, bagi
penyair Wiji Thukul kampung justru mengarah pada bagian dari kota namun
berkebalikan secara “nasib”. Kita bisa lekas mengimajinasikan suasana kampung
lewat puisi berjudul Kampung (1993). Thukul
tentu merasa berhak mengisahkan kampung dalam lintasan ingatan dan kenangan
pribadinya.
Thukul menulis: lalu gadis-gadis umur belasan/ keluar
kampung menuju pabrik/ pulang jam enam/ bermata kusut keletihan/ menjalani
hidup tanpa pilihan// dan anak terus lahir berdesakan/ tak mengerti rumahnya di
pinggir selokan// bermain-main di muka genangan sampah/ di belakang
tembok-tembok/ mereka menyumpal di dalam gang-gang/ berputar-putar dalam
bayang-bayang/ mencari tanah lapang.
Puisi seperti lukisan
keterpinggiran. Kita membayangkan kampung ada di antara desakan bangunan
kondominium dan tembok-tembok pabrik yang angkuh. Di kampung itu, hari-hari tak
lepas dari ketergesaan. Lewat puisinya, Thukul mengabarkan
kampung yang telah kehilangan ruang bagi anak-anak untuk bermain di “tanah
lapang”.
Grup musik
Silampukau lewat lirik lagu Bola Raya
(2015) memberi kritik atas hilangnya ruang terbuka hijau atau lapangan yang
kerap dijadikan tempat bermain bola anak-anak muda. Simak petikan liriknya
berikut ini: Kami rindu lapangan yang hijau/ Harus sewa
dengan harga tak terjangkau/ Tanah lapang kami berganti gedung/ Mereka ambil
untung, kami yang buntung.
Sekian karya itu telah bersaksi
mengabarkan nasib kampung di hadapan ambisi manusia-manusia serakah. Sastra bisa
jadi pengingat bahwa kampung tak boleh ikut-ikutan ditembok atau
diminimarketkan. Dari waktu ke waktu, jejak-jejak nasib kampung di Indonesia
terekam dalam pelbagai karya sastra. Karya-karya itu menarasikan kampung sebagai
pesakitan akibat pergerakan zaman yang tak terkendali. Sastra mengingatkan kita
agar tak ikut-ikutan meminggirkan kampung.[]
Dimuat di Republika, 13 Maret 2016
Dimuat di Republika, 13 Maret 2016
Bacaan:
Majalah Horison, XXXIX/2005
Tujuh Penyair Jawa Tengah. 1993. Kicau Kepodhang I. Solo: Taman Budaya
Jawa Tengah
Utomo, S Prasetyo. 2009. Tangis Rembulan di Hutan Berkabut.
Semarang: H2O Publishing
Silampukau dalam album Desa, Kota, dan
Kenangan (Moso’iki Records, 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar