Tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo,
penggerak pers bumiputera di era kolonial, menulis karangan panjang berjudul Boedi Oetomo di koran Medan Prijaji. Tulisan bersambung itu memuat
harapan Tirto terkait organisasi Boedi Oetomo yang, dalam imajinasinya,
disimbolkan sebagai pohon beringin. Pohon beringin dianggap memiliki banyak
filosofi: terus tumbuh meski sedikit demi sedikit, tahan badai, dan berumur
panjang. Dengan demikian, organisasi itu diharapkan mampu mewujudkan
cita-citanya, yaitu memuliakan orang Jawa.
Apa yang Tirto tulis barangkali
tak pernah secara sengaja dimaksudkan sebagai tulisan berbentuk esai. Ia hanya
menulis apa yang ada dalam pikirannya, tak peduli mau disebut apa tulisan itu
kelak. Hingga berkali lipat dekade kemudian, Muhidin M Dahlan mendakwa bahwa
tulisan Tirto di koran itu masuk dalam kategori esai. Sebuah esai dengan gaya
pengandaian yang sederhana namun mengandung pemaknaan filosofis yang kuat.
Seperti itulah kiranya metode
penulisan buku Inilah Esai: Tangkas
Menulis Bersama Para Pesohor karya bahadur arsip Muhidin M Dahlan. Bertolak
dari seratus lebih esai yang terbit dari pelbagai lintasan zaman, kita diajak
menziarahi teks-teks yang dinubuatkan sebagai esai, sekaligus disuguhi apa-apa
saja yang bisa ditakik guna belajar menulis esai. Meski masuk dalam jenis buku
“how to”, buku ini tak hanya menyajikan hal-hal teknis kepenulisan.
Sajian cuilan esai yang pernah terbit
rentang seabad terakhir sanggup memberi gambaran menyeluruh, sekaligus
meluaskan cakrawala pengetahuan pembaca. Esai-esai itu menghadirkan riwayat kesejarahan
Indonesia, bertolak dari tema dan pengisahan dalam esai. Esai dianggap mewakili
pergolakan pemikiran yang terjadi di zamannya.
Di era revolusi, Sukarno menjejakkan
diri sebagai aktivis kemerdekaan sekaligus esais super produktif. Sukarno
“membangun” Indonesia lewat kata-kata. Tahun 1926, Sukarno menulis esai berjudul
“Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Kedigdayaan esai ini tak hanya ditopang
dengan kekayaan intelektual Sukarno belaka. Jenis esai Sukarno ini, dalam
istilah Muhidin, disebut “esai yang berkaki” (hal.55-56).
Seperti apa esai yang berkaki?
Muhidin menganggap “kerja mimbar, organisasi, sumpeknya penjara, sepinya
pembuangan, dan percobaan-percobaan pembunuhan setelah menjadi presiden”,
adalah proses panjang pembentukan kaki-kaki esai Sukarno. Maka setelah Indonesia
merdeka, esai menjadi kian kokoh berkat kekuasaan dan kepopuleran Sukarno
sebagai presiden. Di era Demokrasi Terpimpin, esai tersebut bahkan ditahbiskan
sebagai garis politik negara. Sampai kemudian meletus Tragedi 1965, esai ini
pun ambruk seiring jatuhnya Sukarno dari tampuk kepemimpinan.
Selain Sukarno, Muhidin juga menyajikan
esai-esai dari tokoh lintas ideologi, seperti Hatta, Sjahrir, Hamka, Tan
Malaka, Aidit, Yamin, Soedjatmoko, Soewardi Soerjaningrat, hingga Marco.
Pendiri bangsa ini tak lain adalah para esais ampuh. Esai mengungkap pilihan
ideologis serta menampilkan bagaimana karakteristik dan gaya menulis dari
masing-masing tokoh.
Kepada tulisan Soewardi yang
berjudul “Als ik eens Nederlander was…(Seandainya
saya seorang Belanda…) di majalah Expres,
kita tahu bagaimana “pengandaian” dalam sebuah tulisan dipakai secara
efektif dan tepat sasaran. Imbas esai ini memang di luar dugaan: Soewardi
ditangkap karena dianggap subversif, dan organisasi Indische Partij, tempat ia bernaung, dibubarkan (hal.63-68). Dan
dari tulisan Marco yang berjudul Sama
Rasa dan Sama Rata di koran Sinar
Djawa, 16 April 1918, kita jadi tahu siasat menulis esai menggunakan
kutipan sebagai pembuka sudah di lakukan sejak “Negara Indonesia” masih
bersemayam di dalam cita-cita (hal.87-88).
Di luar esai yang tersebar di
koran dan majalah lawas, Muhidin pun tak abai pada esai di media daring. Esai
berjudul Surat Terbuka kepada Pemilih
Jokowi Sedunia (2014) karya Iqbal Aji Daryono di situs mojok.co, adalah esai jenis “surat terbuka” yang sukses memancing
perhatian publik dan menorehkan rekor diklik lebih kurang lima juta pembaca.
Surat yang malih rupa menjadi esai memang cenderung menggoda pembaca ketimbang
jenis lain.
Acuan esai demi esai yang Muhidin
pilih sanggup mengantarkan imajinasi pembaca berkelana memasuki kesejarahan
Indonesia, sejak awal kemerdekaan sampai rezim Jokowi. Kita dikenalkan pada esais
dari generasi tua tapi masih kuat menancapkan tajinya, seperti Goenawan
Mohamad, Sindhunata, Cak Nun, Dahlan Iskan. Juga esais muda yang kerap menyapa
pembaca koran dan majalah, sebut saja AS Laksana, Yudi Latif, Bandung Mawardi,
dan J Sumardianta. Dua jam mengkhatamkan buku ini, kita seperti diajak menyigi
dan menjelajahi seratus tahun esai-esai pengisah Indonesia.
Meski begitu, tak semua esai(s)
kondang mendapat tempat di buku ini. Mohamad Sobary, misalnya, tak masuk
hitungan. Muhidin memang mengaku hanya mengutip esai-esai dari “koleksi di
Perpustakaan Indonesia Buku yang saya kelola bersama rekan dan handai taulan”.
Penjelasan ini mengafirmasi keberatan pembaca terkait nama-nama yang mungkin
tak ikut tercatat. Perhatian utama buku ini memang pada bagaimana keberlimpahan
data bisa jadi rujukan belajar menulis esai. Lengkap tidaknya data yang
berhasil dikumpulkan, itu lain soal. []
Dimuat di Jawa Pos, 20 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar