Perpustakaan
tengah jadi bunga bibir. Berita di koran mengabarkan DPR berniat membangun
perpustakaan publik terbesar di Asia Tenggara. Perpustakaan direncanakan
menjadi bagian dari gedung baru DPR. Anggaran pun ditaksir bakal menghabiskan
duit sebesar Rp 570 miliar untuk membangun gedung. Kita pantas takjub atas
niatan tak biasa dari wakil rakyat itu. Bukankah biasanya mereka melulu meributkan
jabatan, pencitraan, mahar politik, juga adu debat saat berlangsung sidang.
“Ketakjuban”
itu kian berlipat saat serombongan tokoh bercap cerdik pandai beramai-ramai
sowan ke DPR, memberi dukungan atas ide pembangunan gedung. Mereka, di
antaranya, Ignas Kleden, Nirwan Dewanto, Nirwan Ahmad Arsuka, dan Ulil Abshar
Abdalla, barangkali beranggapan bahwa membangun perpustakaan dengan label
“terbesar” bakal menguatkan citra negara sebagai kaum beradab. Anggota dewan
merasa perlu disandingkan dengan perpustakaan agar dianggap kaum berilmu.
Perpustakaan di lingkungan gedung dewan diharapkan sanggup menciptakan tradisi
keilmuan, bersanding dengan urusan-urusan politik.
Meski
didukung oleh para tokoh intelektual, bukan berarti rencana pembangunan tersebut
tanpa cela. Selain adanya isu bahwa pembangunan perpustakaan baru akan dibarter
dengan RUU Tax Amnesty yang sedang digadang-gadang pemerintah, kita perlu
bercuriga bahwa landasan berpikir gagasan tersebut masih rapuh. Citra anggota
dewan selama ini kita ketahui kerap bersinggungan dengan kasus korupsi, politik
transaksional, serta misi terselubung di balik kebijakan-kebijakan yang mereka
ambil. Kita pun pantas bertanya: Mengapa anggota dewan memilih membangun
perpustakaan?
Kita
sulit mencari jawaban tapi diperkenankan mempertanyakan kesanggupan anggota
dewan mengerti perpustakaan. Di Indonesia, perpustakaan memang menyimpan sekian
cerita meski kerap memberi kabar menyedihkan. Kisah tentang perpustakaan jarang
tampil di koran-koran sebagai berita menggembirakan. Berita perpustakaan justru
diisi keluhan dan ratapan. Tak jarang, kita jumpai “surat pembaca” di koran
yang mengeluhkan pelayanan perpustakaan tak nyaman.
Kepedulian
pemerintah terhadap perpustakaan memang belum sebaik sebagaimana mereka
mengurusi pembangunan gedung, jalan, dan taman kota. Perpustakaan dianggap
tidak mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Bagi pemerintah, kesuksesan
pembangunan mesti dilunasi dengan pemasukan rupiah ke dalam kantong-kantong
pendapatan daerah. Perpustakaan bagi orang-orang bernalar ekonomistik tentu
bukan aset yang menguntungkan.
Foto: Pusat Dokumentasi sastra HB Jassin beberapa tahun lalu sempat akan ditutup karena terkendala anggaran perawatan |
Kita
ingat beberapa tahun silam publik sastra dibuat geram atas isu penutupan Pusat
Dokumentasi Sastra HB Jassin karena tidak adanya anggaran. Kabar itu memicu
reaksi dari kalangan sastrawan untuk melakukan gerakan penggalangan dana berupa
aksi pengumpulan Koin Sastra. Nasib serupa juga menimpa perpustakaan Bung Hatta
di Yogyakarta. Impian Bung Hatta di masa lalu tentang perpustakaan yang
menaungi puluhan ribu buku-buku koleksinya akhirnya kandas. Tanah bangunan
perpus mengalami sengketa. Dan akhirnya, riwayat perpustakaan Bung Hatta pun
tamat.
Dua
kasus tersebut menegaskan ketidakmampuan negara mempertahankan wajah nyata
literasi di Indonesia. Kita pun meragu bahwa pembangunan perpustakaan bercap “terbesar”
itu sanggup memberi rangsangan agar anggota dewan jadi manusia yang menjunjung
tradisi keilmuan. Mereka mungkin ingin disandingkan dengan para pendiri bangsa
yang bercap melek literasi. Bung Hatta, Tan Malaka, Hamka, Sjahrir, Agus Salim,
Soekarno,Tirto Adi Soerjo, adalah sosok penting bangsa ini yang peduli pada urusan
literasi dan buku. Para tokoh bangsa itu menempatkan buku sebagai landasan dan
referensi berpolitik. Mereka berpolitik lewat ikhtiar membaca, menulis.
Berliterasi!
Kini,
apakah para politisi itu berpolitik lewat literasi? Satu dua orang, mungkin ya.
Itu sebabnya sebagian lain berencana membangun gedung perpustakaan agar mereka
bisa lebih dekat membaca buku saat rehat rapat. Tetapi, apakah kita yakin
anggota dewan itu berhasrat menyambangi perpustakaan untuk membaca? Perpustakaan
yang kini terletak di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, dikabarkan setiap
hari tak pernah ada pengunjung. Suasana sepi itu kian menusuk berkat udara
dingin dari penyejuk ruangan (Kompas,
27 Maret 2016).
Kita
justru semakin pesimis ketika hari demi hari berita pelarangan diskusi dan forum-forum
kebudayaan semakin sering terjadi. Belum lama ini, acara Belok Kiri Fest di
Taman Ismail Marzuki dan Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” mendapat
penolakan dari ormas agama tertentu, dan polisi tak kuasa memberi jaminan
keamanan. DPR sibuk mengusulkan perpustakaan baru beralasan keilmuan tapi tak
acuh terhadap pengekangan kebebasan berpendapat.
Dan
ketika anggota dewan sedang ngotot ingin
membangun perpustakaan termegah, seorang guru di SMKN 61, Kepulauan Seribu,
terluka akibat atap perpustakaan yang ambrol (Media Indonesia, 24 Maret 2016). Dari peristiwa ini kita jadi tahu,
mana yang perlu diprioritaskan. Dana milyaran untuk pembangunan perpustakaan,
seandainya digunakan untuk memperbaiki dan menambah koleksi buku baru di
perpustakaan kampus, sekolah, dan daerah tertinggal, tentu lebih bermanfaat.[]
Tribun
Jateng, 30 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar