Persinggungan dengan kekuasaan memang
kerap memicu konsekuensi rawan. Mereka yang memilih menentang kekuasaan mesti
sadar atas risiko tersebut. Kedigdayaan kekuasaan ibarat amuk badai. Para penentang itu mesti siap jika suatu
saat dihempas
badai kekuasaan sebagai konsekuensi perlawanan. Kekuasaan sanggup menghilangkan jejak dan ingatan, melempar para
penentangnya ke pingggiran zaman, ke sudut-sudut mematikan.
Dalam
konteks inilah, buku
Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong
Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran Soe Hok Gie sampai Putra Sang Fajar Bung Karno
(2015) karangan Daniel
Dhakidae menghadirkan lacakannya
terkait peran yang
dimainkan oleh tokoh-tokoh yang dalam hidupnya berkeputusan untuk berhadapan dengan kekuasaan. Daniel “menangkap momen hidup
seseorang, melihat mengapa momen itu penting bagi dirinya”. Dalam artian, “sekiranya
tiada momen itu dalam seluruh konteks historisnya, seorang akan melalui jalur
yang normal saja”. Daniel pun merunut faktor “apa yang mengubah jalur itu”
(hal.xi).
Untuk menjelaskannya, Daniel
membagi buku ini dalam tiga kerangka besar. Pertama,
keberkuasaan mereka yang tak berdaya, powerfullnes of the powerless. Daniel memberi perhatian kepada tokoh-tokoh yang dalam
ketidakberdayaannya justru sanggup menggetarkan dunia sekitar dan pusat
kekuasaan. Adalah Soe Hok Gie, pemuda idealis penyeru kritik atas kekuasaan Sukarno
di era Demokrasi Terpimpin. Kita mengenal Gie sebagai pemuda
tukang protes, moralis,
serta pembaca buku yang ambisius.
Gie tentu saja tak memenuhi
syarat untuk disebut sebagai individu yang berkuasa. Namun, Gie berani menulis kritik dan makian, tertuju
pada penguasa. Ia
turun ke jalan demi menggerakkan
demonstrasi mahasiswa, menuntut penggulingan Sukarno dari ranjang kekuasaan. Sikapnya itu, dalam istilah Daniel, semacam praktik sadisme intelektual.
Di sisi lain, bagi Daniel “kekuasaan”
yang dimiliki Gie, dalam kapasitasnya sebagai pengkritik dan pemantik sumbu
perlawanan di kalangan mahasiswa, sangatlah ironik. Gie ibarat dilema bagi
zamannya. Ia “senantiasa dikagumi, dipuja dan dipuji, tetapi dalam dirinya dia
sebenarnya orang yang ditolak dalam setiap lingkungan yang dia masuki”(hal.96). Gie sanggup
menyerang jantung kekuasaan, yang oleh karenanya dibanggakan oleh kawan
seperjuangan namun sekaligus
ditolak karena sikap kritisnya yang tak pandang pihak.
Kedua, keberkuasaan kaum yang terbuang, power of the outcasts. Keberkuasaan tokoh-tokoh yang oleh negara dicap sebagai
penjahat, kaum durjana, dan juru kriminal. Dalam pembahasan ini, Daniel mengajak pembaca
bertamasya ke masa silam, membuka kembali
catatan dan berita di masa lalu. Daniel mengisahkan sosok Kusni Kasdut yang
sangat mungkin saat ini sudah hilang
dari ingatan publik.
Kasdut dikenal
sebagai pejuang di
era kemerdekaan namun bernasib apes. Bertahun-tahun melakoni hidup sebagai pembela Republik, Kasdut
justru tak diakui sebagai tentara Indonesia. Sejak itu, Kasdut “memutuskan
untuk membalas dendam kepada negara yang “mengkhianati” dirinya dan memilih
tempat “bersebarangan” dengan negara yaitu dengan menjadi penjahat” (hal.223).
Kekecewaan itu termanifestasikan
lewat serangkaian aksi pemberontakan dan perampokan. Lakon pejuang apes itu pun berakhir dalam petaka. Tahun
1980, Kasdut dieksekusi mati. Daniel menyebut perjumpaan Kasdut dengan
kekuasaan “membawanya ke dunia hitam, dan karena menerjang badai menemui
ajalnya” (hal.235).
Ketiga, ketidakberdayaan mereka yang mampu, powerless of the powerfull. Mereka yang
memiliki daya, berilmu tinggi, dan banyak pendukung, belum tentu
tangguh di hadapan kekuasaan. Kisah tragis itu menimpa Sukarno. Hidup sebagai aktivis-nasionalis
di era kolonial tentu menanggung risiko tak sederhana, dari penangkapan, pemenjaraan,
hingga pembuangan. Sukarno
mungkin sadar atas risiko menjadi aktivis kemerdekaan meski tak menyangka bakal
tak kuasa menahan serangkaian teror dan intimidasi dari pihak kolonial.
Pada 31 Juli 1933, pasca
pembacaan pledoi Indonesia Menggugat,
untuk kedua kalinya, Sukarno kembali
dipenjara. Belanda sukses
meruntuhkan keteguhan Sukarno karena tak bisa membela diri lagi, dan semua itu
dihadapinya sendiri tanpa dukungan pembela-pembelanya. Sukarno pun dibuang ke pengasingan
di Ende, Flores. Peristiwa ini telah
membuat Sukarno “menjadi jinak, bisa dikendalikan ke mana saja para penguasa
mau, dan takluk. Karena itu tekanan-tekanan yang diperoleh dalam interogasi menghancurkan
perlawanan Sukarno”(h.381).
Selain ketiga tokoh di atas, Daniel juga
membahas tokoh-tokoh
lain yang
dalam hidupnya pernah mengambil sikap berbeda terhadap kekuasaan, seperti Pramoedya Ananta Toer,
Frans Seda, Mohammad Hatta, Sam Ratulangi, hingga Gus Dur. Meski pada mulanya
naskah asli buku ini ditulis bukan demi satu kepentingan yang sama, Daniel sanggup
merangkainya ke dalam
satu kerangka teori yang kokoh.
Dalam uraiannya, terbaca jelas keterpengaruhan
Daniel pada pemikiran Michel Foucault, yaitu dari tulisannya yang
berjudul The Infamous Men, dan Pierre
Bourdieu, terkait relasi-relasi dalam proses produkasi dan hal-hal di luar
proses kreatif (The Field of Power, Literary Field, dan Genesis of the Producers Habitus).
Penjelajahan Daniel menelusuri
saling kait antara sejarah, biografi, dan konteks sosial, berhasil membeberkan keputusan dan peran yang
dimainkan oleh para
tokoh dalam konfrontasinya dengan kekuasaan. Rentang waktu tiga puluh tahun penulisan naskah
buku ini membuktikan
keseriusan dan ketekunan
Daniel dalam menyuntuki
wacana kekuasaan di Indonesia, bereferensi ketokohan para penentang kekuasaan.[]
Dimuat Koran Jakarta, 21 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar