: 80 Tahun W.S. Rendra (7 November 1935 – 7
November 2015)
Sejak dulu, penyair jadi pengisah paling
ulung perihal bait-bait romantis. Lewat puisinya, penyair
seperti tak pernah bosan menarasikan romantisme cinta dalam pelbagai perspektif
dan persoalan. Selain bersifat universal, konon tema itu dianggap paling
diminati pembaca. Di Indonesia, kita bisa mengajukan W.S. Rendra (1935-2009) sebagai
satu di antara sekian banyak penyair yang, dengan
intensitas tinggi, pernah menggarap tema cinta ke dalam
puisi-puisinya.
Beberapa bulan silam terbit buku Puisi-Puisi Cinta (2015). Buku itu memuat sejumlah puisi Rendra yang selama ini belum pernah
dibukukan. Penerbitan buku menjadi istimewa karena menampilkan puisi awal masa
kepenyairan, yaitu kisaran tahun 1950-an. Puisi yang ditulis
pada tahun-tahun itu memang menandai gairah Rendra sebagai anak muda yang kerap
terjerat asmara. Cinta dalam pengisahan Rendra adalah kristalisasi pelbagai kisah,
pengalaman, dan trauma.
Lelaki bertampang flamboyan itu memang
kerap jadi bunga bibir di antara teman-teman perempuannya. Kita bisa menilik
kesaksian Umar Kayam (2000) sebagai pembuktian ketenaran dan pesona Rendra saat
itu:”Rendra adalah seorang yang manja (mungkin juga biasa dimanjakan) dan
sangat playful, bercumbu dengan
cewek-cewek yang memang tidak dapat lain daripada tersedot oleh karismanya…” Bagi
Rendra, menulis puisi bisa dimungkinkan sebagai pelampiasan dan pengisahan atas
lika-liku kisah cintanya.
Tahun 1950-an, Rendra sedang mengalami
masa-masa pubertas. Hal itu terwujud dalam puisi-puisi yang kerap berisi teks-teks
bernada rayuan, godaan, serta optimisme berlebihan, khas anak muda. Puisi
berjudul Optimisme berhasil merekam
keyakinan Rendra muda atas getar-getar cintanya saat itu. Berikut petikannya: Cinta
kita berdua/ adalah istana porselen./ Angin telah membawa perdamaian/
membelitkan kita dalam pelukan. Perspektif Rendra dipenuhi simpul-simpul
optimisme, meski, seperti halnya “porselen” yang
anggun, begitu ringkih dan gampang pecah.
Saat Rendra berstatus siswa kelas 2 SMA, kisah tragis juga pernah menimpanya. Rendra
kehilangan sang kekasih akibat sebuah kecelakaan maut. Tragedi itu membuat
hari-hari Rendra berkabut dan penuh kekalutan. Traumanya mengkristal, melahirkan puisi berjudul Bunga Gugur. Penulisan puisi itu tentu dimaksudkan untuk mengenang kepergian
pujaan hati sekaligus ekspresi kedukaan. Rendra menulis: Bunga gugur/ di
atas tempatmu terkubur/ gugurlah segala hal ihwal antara kita. Puisi bertitimangsa “Solo, 1954” itu menyiratkan kepasrahan, menampilkan
bentangan imajinasi dan romantisme Rendra meski teks-teks yang ia hadirkan
terasa begitu terang.
Mengisahkan
Peristiwa
Detik demi detik berlalu, perjalanan cinta
Rendra terawetkan lewat puisi. Hingga bersandarlah kemudi cintanya pada Jeng
Narti, perempuan yang kemudian disunting menjadi istri. Dalam buku Empat Kumpulan Sajak (1961), Rendra
terang-terangan memberi persembahan kepada Dik Narti:”Bagi Dik Narti/ Istriku/
Mataair sajak-sajakku”. Puisi jadi kado mulia, membuktikan keteguhan dan
keyakinan yang kokoh.
Puisi ikut mengabadikan momen-momen
romantis, mengajak pembaca ikut tersihir dan merasai. Dalam puisi Surat Cinta, Rendra secara eksplisit
mengimajinasikan adegan romantis saat ia meminang Jeng Narti: Kutulis surat ini/ kala langit menangis/ dan
dua ekor belibis/ bercintaan dalam kolam/ bagai dua anak nakal/ jenaka dan
manis/ mengibaskan ekor/ serta menggetarkan bulu-bulunya./ Wahai, Dik Narti,/
kupinang kau menjadi istriku!
Rendra berhasil menggambarkan romantisme
saat melamar Jeng Narti, tanpa terjebak ungkapan klise. Puisi tak lagi berisi
letupan-letupan gejolak kawula muda yang banal dan cenderung sesaat. Kita bisa
ikut “tersedot” saat membaca puisi Kangen. Rendra merayu pembaca ikut luruh dalam imajinasi kerinduan yang
menekan dan menghimpit. Simaklah: Kau tak
akan mengerti bagaimana kesepianku/ menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/ kau tak
akan mengerti segala lukaku/ kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Pergulatan Rendra pada teks-teks puisi bertema cinta lambat laun mengalami jeda
akibat tergoda mencicipi tema-tema kritik politik,
sosial, dan budaya. Puisi-puisinya justru nyaring di atas mimbar, menyuarakan
protes dan perlawanan. Rendra kian mentereng sebagai penyair penentang rezim
Orde Baru. Seruan puisi “pamflet masa darurat” mengundang orang-orang untuk kagum
serta memberi cap penyair perlawanan kepadanya.
Sekian waktu berlalu, Rendra tak lagi
mendefinisikan cinta sebatas hubungan antarmanusia. Pengimajinasian cinta
justru mengarah pada ikhtiar pengendapan diri dalam jagat religiusitas dan
keilahian. Puisi Tuhan, Aku Cinta pada-Mu
telah memungkasi narasi cinta Rendra dalam kisahan puisi-puisinya.
Rendra menulis penuh takzim: Aku ingin
kembali ke jalan alam/ Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.// Tuhan,
aku cinta pada-Mu.
Puisi telah meriwayatkan narasi cinta Rendra, dari masa ke masa. Temuan puisi
terakhir itu membuktikan pemaknaan dan pengisahan tema cinta di dalam puisin
Rendra terus mengalami peralihan. Penerbitan buku-buku yang memuat warisan
puisinya yang tak terpublikasikan jadi pelengkap khasanah referensi pembaca
agar kerja penafsiran tak terjadi bolong-bolong.
Membaca dan menafsir ulang puisi-puisi
Rendra tak lain jadi pengingat kiprah ketokohan Rendra, yang tahun ini memasuki
usia 80 tahun, yaitu pada 7 November silam. Rendra telah membuktikan betapa “usia
cinta lebih panjang dari usia percintaan”. Dan usia puisi memang lebih panjang
ketimbang penyair. []
Dimuat di Edaran Ora Weruh Nomor 6 Tahun IV 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar