Saya berandai-andai ada sebuah aforisma mutakhir yang isinya begini: Kemewahan
terakhir seorang manusia adalah punya banyak waktu untuk membaca buku.
Aforisme itu, saya kira, tak berlebihan. Kesibukan
manusia mengurusi pekerjaan, keluarga, sekolah, hingga
pemenuhan kewajiban sebagai manusia sosial, mengubah hari-hari terasa lebih pendek.
Gawai turut menyita waktu, sedari bangun tidur hingga saat tubuh kembali merebah di atas ranjang. Detik demi detik
dihabiskan oleh rutinitas pragmatis. Alhasil, orang-orang mulai sulit menyempatkan waktu berdiam diri untuk membaca
buku.
Kesibukan itu berimbas pada kebekuan pikir
alias bebal. Dalam skala yang lebih besar, ketidaksanggupan menyediakan waktu
baca juga menjadi masalah bagi negara kita. Belum lagi perkara buta aksara.
Penderitaan itu kian lengkap dengan tudingan
Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan oleh Central Connecticut State
University, yang mencap Indonesia ada di urutan ke-60 di antara total 61 negara
atau peringkat kedua dari bawah (Jawa Pos,
13 April 2016).
Anies baswedan, Mendikbud kala itu, merespons tudingan tersebut dengan mengagendakan
gerakan literasi melalui pembiasaan membaca di sekolah. Selama 15 menit sebelum
jam pelajaran dimulai, siswa diwajibkan membaca buku apa
saja.
Usaha itu perlu kita apresiasi meski terkesan tanggung.
Membaca 15 menit itu terlalu sebentar seumpama dibandingkan dengan waktu yang
diperlukan guna menengok “beranda” Facebook.
Negara kita, barangkali, perlu meniru
kebijakan yang ditempuh oleh Uni Emirat Arab (UAE) dalam upaya meningkatkan
budaya membaca di masyarakat. Belum lama ini, Presiden UAE Sheikh Khalifa bin
Sayed Al-Nahyan meresmikan kebijakan wajib membaca bagi rakyatnya.
Dalam praktiknya kelak, negara akan memberikan
keringanan kepada kaum pekerja untuk mendapatkan waktu istirahat yang lebih
lama agar mereka bisa menyempatkan diri membaca buku. Negara
beralasan, kerja keras boleh saja tapi membaca buku jangan ditinggalkan.
Kebijakan UEA itu pun berlanjut ke institusi pendidikan, tempat hiburan, dan
urusan pajak. Jajaran pendidik dan akademisi ditugasi menggenjot gairah siswa
untuk membaca buku. Kedai-kedai kopi diharuskan menawarkan buku bacaan agar
orang-orang tak hanya bergosip tetapi juga mau membaca buku. Di pusat
perbelanjaan, juga wajib dibangun perpustakaan. Tak hanya
itu.
Demi menyokong penulis, editor, dan perusahaan
percetakan, pemerintah menyediakan pelbagai fasilitas menggunakan alokasi dana
khusus. Pajak yang berkenaan dengan produksi buku pun dihilangkan (Media Indonesia, 7 November 2016). Dahsyat, bukan?
Kebijakan pemerintah UEA itu mungkin bermula dari kesadaran atas pentingnya menyiapkan waktu khusus untuk membaca di sela
kesibukan rutinitas keseharian. Tak bisa dimungkiri, banyak orang gampang
mengajukan alasan sibuk, lelah, stres, frustasi, kere, agar tak merasa bersalah
telah menutup buku bacaan beratus-ratus hingga ribuan hari lamanya.
Kaum berduit mungkin sanggup membeli puluhan
buku tiap akhir pekan tapi kewalahan mengatur waktu membaca. Buku-buku itu
tercampakkan dan terkutuk di rak-rak berdebu atau kamar gelap.
Si empunya buku ingin menebus rasa
bersalah karena tak lagi sempat membaca dengan menumpuk buku-buku baru. Buku tak lekas dibuka dan
dibaca tapi difoto dan dipajang di media sosial.
Kelak, di hadapan rekan-rekan ia bisa sesumbar: meski sibuk bekerja
tapi masih sempat membaca dan mengoleksi
buku! Alamak…. Kita boleh menduga “penyakit” ini menjangkiti pekerja kantoran,
sosialita, akademisi, bahkan seniman, yang keok dilibas urusan birokrasi,
jabatan, dan kekuasaan.
Pada akhirnya, sebesar apa pun peran negara dalam
menggenjot gairah membaca, penentunya ada pada inisiatif dan kesadaran dari masing-masing individu. Secuil kutipan dari
novel Rumah Kertas (2016) karya
novelis Argentina Carlos Maria Dominguez berikut ini bisa mengingatkan kita
bagaimana seseorang mesti berusaha keras menjaga gairah membaca buku meski tengah dilanda
kesibukan:
“berapa jam sehari yang bisa saya peruntukkan
buat membaca? Paling banter empat, lima jam. Saya kerja pukul delapan pagi
sampai lima sore di sebuah jabatan yang tidak enteng tanggung jawabnya. Tapi
sepanjang waktu itu yang saya rindukan cuma bisa kembali ke sini. Di gua
inilah—izinkan saya menggunakan istilah itu—saya luangkan beberapa jam yang menyenangkan
sampai pukul sepuluh….”
Kutipan ini mungkin sulit mendapat “amin” atau
“like” bila ditulis di
media sosial. Orang-orang cenderung memilih
menghabiskan empat sampai lima jam sehari untuk tidur, main gawai, menonton televisi, bergosip di kedai, atau
belanja di minimarket.
Novelis Haruki Murakami (2016) pernah
bepanjang cerita seputar pengalamannya mencari waktu senggang demi laku
berliterasi:“aku berusaha meluangkan waktu 30 menit, sejam, atau mencari
sedikit waktu saat aku bekerja di kelab”. Sebelum moncer sebagai novelis, hari-hari
Murakami memang disibukkan untuk mengelola kelab jazz.
Kita memang tak diharuskan meniru laku Haruki
Murakami. Di zaman yang serba bergerak cepat, pengorbanan demi membaca buku
memang bukan perkara sepele. Membaca jelas bukan aksi heroik agar terkesan
intelektual belaka.
Buku, tulis Kafka dalam suratnya kepada Oskar
Pollak, temannya semasa sekolah, harus menjadi kapak yang memecah lautan beku
dalam diri kita. Maka membaca buku, pada hakikatnya, semata-mata agar kita tak gampang terserang lupa, pikun, atau ngawur. []
Jawa Pos, 13 November 2016
Foto: Haruki Murakami. Sumber: thedailybeast.com/diunduh tanggal 14 November 2016 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar