Di atas tanah peradaban dibentuk.
Tanah adalah muasal dari segala hasrat manusia pada kekuasaan, kemodernan, dan
keberadaban. Di Ilheus, sebuah wilayah di selatan kawasan pantai Bahia, Brazil,
tak ada yang lebih terhormat selain tanah dan kebun kakao yang subur. Saat itu,
tahun 1925, tanah adalah identitas dan harga diri.
Dulu, perebutan tanah dan
pertumpahan darah pernah jadi memori kelam kota Ilheus. Tanah yang semula hutan,
bukit, dan lereng-lereng, jadi sumber segala macam kisruh. Orang-orang
bertarung demi perebutan tanah. Ada darah dan nyawa yang dipertaruhkan demi
sepetak tanah. Tanah adalah muasal dari peradaban Ilheus.
Jorge Amado, penulis kondang asal
Brazil, menampilkan kota Ilheus sebagai kota sarat kisruh dan konflik berdalih
perebutan tanah lewat novel Gabriela,
Cengkih, dan Kayu Manis (2014). Novel tentang kehidupan pelik para pemilik tanah
perkebunan kakao di tepi pantai kota Ilheus. Tanah jadi alasan orang-orang
untuk singgah dan menanam cita-cita di Ilheus.
Kemonceran kakao memicu
serentetan perubahan. “Kemajuan
adalah kata yang paling sering terdengar di Ilheus…” (hlm.27). Kemajuan itu tampil
lewat pendirian sekolah, bioskop, kabaret, pembacaan puisi di panggung yang
megah, dan bar-bar modern.
Kemajuan mulai menggema sejak kedatangan
Mundinho Falcao, pemuda penggagas pembangunan jalan demi kelancaran
pengangkutan kakao. Dari jalan yang luas itu, melebarlah ide-ide kemajuan lain
di Ilheus: pendirian Klub Kemajuan, organisasi para pengusaha dan profesional,
klub sepak bola, Perhimpunan Sastra Rui Barbosa, hingga penerbitan Koran Ilheus.
Sebagai kota yang memiliki memori
gelap perihal pertumpahan darah di masa lalu, Ilheus masih menyisakan karakteristik
kepurbaannya. “Ada banyak pembicaraan mengenai kemajuan; uang mengalir deras;
kakao membangun jalan-jalan, membuat permukiman, mengubah wajah kota. Namun,
keterbelakangan, kebiasaan-kebiasaan lama tetap tidak berubah” (hlm.200).
Kemajuan di Ilheus belum menuntaskan
kebebalan tradisi kuno tak beradab: kekerasan, perselingkuhan, pergundikan,
perjudian, pembunuhan, dan pelacuran. Menggosip jadi pilihan tak berisiko daripada
merombak tradisi yang terbelakang.
Kemajuan Ilheus teruji sejak
gonjang-ganjing politik ramai dibicarakan publik. Gagasan Mundinho tentang
kemajuan Ilheus membuat Ramiro Bastos, penguasa kota yang disegani, merasa
gerah. Terutama inisiatif Mundinho perihal pengerukan gundukan pasir di pantai
yang menghalangi kapal-kapal pengangkut kakao masuk ke Ilheus. Tujuannya agar
kelak pelabuhan bisa dibangun sehingga bea ekspor bisa masuk ke Ilheus. Selama
ini ekspor kakao dari Ilheus memang bergantung pada pelabuhan di Bahia, kota di
bawah kekuasaan Ramiro Bastos.
Ketegangan terjadi. Adab
berpolitik mulai dipertontonkan. Serangkaian teror dan aksi sepihak dilancarkan
kubu Ramiro Bastos demi membungkam gerakan Mundinho. Dari pembakaran Koran Ilheus, yang pada edisi tersebut
mewartakan gagasan-gagasan Mundinho, hingga penembakan tokoh pendukungnya. Isu
politik jadi siasat Jorge Amado menampilkan keberadaban penghuni Ilheus.
Di antara kerunyaman dan suhu
politik yang tinggi itulah kehadiran Gabriela menaut ke pelbagai peristiwa
penting. Gabriela, perempuan yang dipekerjakan oleh Najib, seorang Arab pemilik
bar, berhasil memikat para lelaki Ilheus berkat kepolosan, kecantikan, serta
keahliannya memasak. Gabriela dikenal hampir di seluruh kawasan Ilheus, dari pendukung
Mundiho maupun Ramiro Bastos. Mereka seakan-akan berlomba-lomba merasai pelukan
Gabriela.
Kepolosan Gabriela jadi siasat Jorge
Amado menghadirkan kritik sekaligus menertawai perilaku penduduk Ilheus yang klise,
ironi, dan kerap munafik. Gabriela hadir di antara sengkarut perselingkuhan,
persaingan politik, hingga dogma-dogma tradisional-feodal. Lewat tokoh
Gabriela, Jorge Amado menyajikan humor-satir politis. Gabriela jadi corong bagi
Jorge Amado menyuarakan pandangan politisnya.
Jorge Amado mengisahkan konflik kota
Ilheus dalam racikan perspektif sosio-kultural-politis. Sebuah pengisahan yang
membawa kita menelusuri karakteristik manusia pesisiran, dengan eksplorasi
nilai-nilai etnografis-geografis. Kita disuguhi lanskap kebudayaan lokal Ilheus
(juga Brazil), misalnya, tentang karnaval perayaan Natal, dansa, kabaret, capoeira, sirkus jalanan, serta
pembacaan puisi di gedung yang megah. Sebuah masyarakat yang bergerak menapaki
modernitas namun masih terbelenggu kepurbaan tradisi di masa lalu.
Dalam novel ini tema-tema
kemajuan dan ketertinggalan bergerak beriringan jadi semacam ambivalensi. Jorge
Amado mengajak kita “menyinggahi” Ilheus dengan kaki kanan berpijak pada
keterbelakangan dan kaki kiri bertumpu ada hasrat kemajuan. Penceritaan ala foreshadowing dalam novel ini membuat
alur cerita tetap menarik dan mendebarkan hingga akhir halaman.
Novel ini kian mengesahkan
ketangguhan sastra Amerika Latin yang kini kian digandrungi pengarang nasional
kita. Sebuah novel yang tak hanya mengisahkan tanah, tapi juga merekam
perkembangan dan perubahan masyarakat, serta mengajukan preseden sebuah gerakan
politik arus bawah menuju penggulingan sistem kekuasaan yang mapan. Sebuah
novel beraroma politik namun sarat akan permasalahan sosial-kultural. []
Dimuat
Harian Rakyat Sumbar, 2 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar