Sumber foto: www.tribunnews.com/ |
Foto penangkapan buron kasus
korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Samadikun Hartono, yang
diberitakan beberapa koran, membuktikan bahwa tulisan pemerhati foto Tubagus P.
Svarajati dalam buku Photagogos:
Terang-Gelap Foto Indonesia (2013) tidak keliru. Dikatakannya gambar atau
citraan foto adalah representasi realitas empirik, bukan berasal dari imajinasi
fotografer belaka.
Tak berlebihan bila kita
menganggap sebuah foto memang bisa bercerita. Foto sanggup menyampaikan pesan,
dengan atau tanpa teks yang mendampinginya. Atau, seumpama foto memang
diharuskan tampil bersama teks, seperti halnya di koran-koran, tak jarang makna
yang disampaikan foto bisa melebihi apa yang bisa dan hendak dijelaskan oleh
sebuah teks.
Foto
penangkapan Samadikun itu, bisa berbicara melebihi apa yang sekadar tampak dalam foto. Berita
di Tribun Jateng, 22 April 2016,
halaman 8, berjudul Samadikun Akhirnya
Pulang. Berita tampil bersama
foto, dengan sub judul Dijemput Kepala Bin dan Jaksa. Pengambilan foto dilakukan dari arah
muka, atau persis di hadapan.
Di dalam foto tampak Kepala BIN
Sutiyoso berjalan bersanding dengan buron Samadikun. Meski memuat foto penangkapan buron, yang diperkuat
dengan keterangan teks, kita justru curiga dengan penangkapan itu. Sang buron tak
diborgol. Tak pula digandeng aparat. Bahkan raut wajah Samadikun tak sedikitpun mengisyaratkan bahwa ia seorang pesakitan yang hendak
masuk bui.
Memperhatikan foto itu dengan
seksama, kita menangkap kesan antara sang buron dan penangkap tak ada jarak
yang membedakan status di antara keduanya. Mereka seolah sejajar. Melihat
foto itu saya teringat beberapa
adegan dalam film Hongkong Young and
Dangerious
yang kerap menampilkan sekelompok laki-laki preman tengah berjalan
berjejer sebelum memulai perkelahian antar geng.
Kita juga bakal menemukan “keanehan” saat
menatap halaman sampul Media Indonesia,
22 April 2016. Di atas berita berjudul Tiada
Tempat Aman buat Koruptor, terpampang foto penangkapan Samadikun yang
diberi sub judul “Tiba di Jakarta”. Foto ini hampir-hampir mengaburkan apa yang
sebenarnya terjadi.
Di dalam foto tampak Sutiyoso di
sebelah kiri sambil melambaikan tangan (sepertinya mengarah pada para
wartawan). Sedangkan Jaksa Agung HM Prasetyo, dan ini puncaknya, terlihat
tengah menyilakan Samadikun seolah-olah ia bukan seorang buron tapi pejabat
teras negeri.
Kesan tersebut kian dipertegas
saat kita menengok halaman sampul harian Kompas,
22 April 2016. Dalam foto ini Sutiyoso tampak sedang berjalan sembari
mengacungkan tangan. Tentunya dengan raut wajah yang sumringah. Sedangkan
Samadikun, meski agak tegang, tetap tak menunjukan sewajarnya seorang terpidana
yang hendak masuk bui.
Singkatnya, foto penangkapan
Samadikun yang beredar di koran-koran mengesankan bukan penangkapan biasa. Maka
benar apa yang disentilkan oleh peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW)
Emerson Yuntho, “perlakuan itu mengesankan pemerintah membentangkan karpet
merah untuk buron BLBI. Pengemplang uang negara milyaran rupiah itu disambut
ibarat tamu negara. Ia tidak diborgol layaknya buron kelas salmon.
Menangkap ketidakberesan itu, beberapa tajuk
dan editorial di koran-koran lekas menyoroti kejanggalan tersebut. Ada yang
menyebut terjadi perbedaan perlakuan. Ada pula yang menuduh memberi perlakuan
istimewa.
Kita bisa mengajukan pembuktian
sederhana dengan cara membandingkan foto-foto penangkapan Samadikun dengan koruptor
Century Hartawan Aluwi. Kita ambil beberapa contoh foto yang ditampilkan oleh
beberapa koran.
Di halaman depan koran Media Indonesia (23 April 2016) tampak
Hartawan berbaju hitam, diborgol,
sekaligus diapit polisi bersenjata. Begitu pula di Kompas dan Tribun Jateng
(23 April 2016) dimunculkan foto Hartawan berbaju tahanan, kepala merunduk, dengan
raut wajah penuh pesakitan. Ketiga foto ini, menjelaskan bagaimana sepatutnya
adegan sebuah penangkapan pelaku kejahatan.
Dari perbandingan foto-foto dia
atas, siapa pun bisa dengan mudah menyimpulkan bagaimana, dalam hal ini
pemerintah, memperlakukan tiap-tiap tersangka. Jelas sekali, ada diskriminasi.
Setidaknya dalam hal perlakuan penangkapan. Samadikun mendapat perlakuan
layaknya tamu kehormatan. Berbeda dengan Hartawan.
Atau, kalau kita ingat kasus
penangkapan terduga teroris Siyono oleh Densus 88 beberapa pekan silam.
Perlakuan keduanya justru kontradiktif dengan Samadikun. Bahkan, Siyono mesti
meregang nyawa akibat kesalahan prosedur—berdasarkan pengakuan pihak otoritas.
Belum lagi kisah-kisah penangkapan yang kerap disertai pemukulan, penembakan,
dan perlakuan kasar lainnya yang menimpa pelaku kejahatan yang hanya berstatus wong cilik atau kaum tak berpunya.
Perlakuannya sama sekali berkebalikan.
Kita tentu tak ingin tergesa-gesa
menuduh bahwa pemerintah memang memberlakukan perbedaan perlakuan dalam
penangkapan, bergantung jenis kejahatan dan ketokohan sang tersangka. Kita
hanya berharap, pemerintah “adil sedari dalam pikiran” dalam menerapkan hukum
di Indonesia.
Pemerintah bisa saja mengelak
asumsi publik terkait perbedaan perlakuan tersebut. Tapi, mereka mesti ingat:
kelakuan mereka terabadikan dalam sebuah foto. Foto memang sanggup mengabarkan
apa yang tersembunyi dari sebuah fakta. Seperti halnya tulisan ini: bermula
dari foto, berakhir pada sebuah kecurigaan. []
Dimuat Tribun Jateng, 26 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar