Senin, 29 Agustus 2016

Rayuan Puisi dan Panggung Referensi


Ada begitu banyak buku yang mengajari kita bagaimana kiat-kiat menulis puisi yang baik. Tetapi setiap penyair selalu punya cara tersendiri. Di masa lalu, penyair mungkin sekadar mengandalkan imajinasinya untuk berpuisi. Melamun dan merenung antara sebentar, menyulut kretek, menyesap kopi, lalu mulai menulis. Dan jadilah sebuah puisi. Namun, ada pula penyair yang mesti melakoni “ritual” khusus sebelum menulis. Penyair itu, mungkin saja, mesti mendatangi tempat-tempat kumuh, ikut merasakan orang-orang kelaparan, barulah bisa mencatatkan pengalaman itu ke dalam bentuk puisi.
Semua cara itu sah. Tak terkecuali dengan apa yang Triyanto Triwikromo lakoni. Laku berpuisinya bermula dari pergumulan dengan teks-teks yang telah ia baca. Teks itu bisa berupa novel, buku sejarah, atau epos. Dari persinggungan itu, ia mengajukan dialog, tafsir, hingga penceritaan ulang. Enam tahun silam, Triyanto menerbitkan buku berjudul Pertempuran Rahasia: Buku Puisi (2010) yang bertolak dari penafsirannya atas epos Mahabharata dan Ramayana. Lima tahun berselang, ia kembali dengan buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015). Buku ini menarasikan fragmen hidup sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam pengertian yang berbeda dengan sejarah versi negara.
Kini, masih dalam etos yang sama, Triyanto menyuguhkan buku terbarunya yang berjudul Selir Musim Panas: Sehimpun Puisi (2016). Ia menulis puisi bertolak dari sekian literatur, juga film, bertema (kesejarahan) Cina, sejak akhir abad XVIII hingga awal abad XIX. Sejak era Dinasti Ch’ing sampai meletus Tragedi Tiananmen. Beberapa novel tertera sebagai rujukan, sebut saja Gunung Jiwa (Gao Xinjian), Sorgum Merah (Mo Yan), dan film Reign of Assasins. Juga dua novel sejarah yang tak Triyanto cantumkan judulnya tapi masih mudah kita tebak, yaitu Orchid Empress dan The last Empress karya novelis Cina Anchee Min. Pembaca yang belum sempat bersentuhan dengan referensi itu, tentu bakal berkerut kening dan terserang kesemutan saat hendak memasuki puisi-puisi Triyanto. Pembaca mungkin takut tak paham konteks waktu dan peristiwa.
Tetapi tunggu dulu, pembaca tak usah terburu-buru cemas. Penyair Sapardi Djoko Damono (2010) pernah menyarankan agar dalam menikmati puisi-puisi Triyanto, pembaca sebaiknya “menerima saja kisah dan renungan” yang ia hadirkan. Selain karena “telah disampaikan dengan pengucapan yang baik”, Sapardi juga meyakinkan bahwa “kita bisa saja membaca sajak-sajak ini berdasarkan bahasa penyampaiannya, yang dalam puisi bisa lebih penting dari apa yang disampaikan”.    
Saran Sapardi itu ada benarnya. Terkadang, untuk menikmati puisi-puisi Triyanto, pembaca hanya perlu menikmati bagaimana bait demi bait disusun dengan begitu padu, berbunyi, dan di saat yang bersamaan, menyitir komentar penyair Zen Hae, “menampilkan dunia ajaib yang berlebihan”. Pembaca pun bisa lekas membuktikan dengan membaca puisi Enigma. Puisi ini hadir di urutan pertama. Simak petikannya:”Siapakah aku? Jagal manis 3.000 kisah. Sembilan/ tahun tetes darah. Tetapi kau selalu menyebutku/ sebagai 20 gerombolan burung funiks, jantung/ dunia, tentara musim dingin, pemilik kota/ yang disembunyikan”.
Tak sampai di situ, pembaca juga disilakan untuk menikmati ungkapan-ungkapan khas Triyanto. Narasi-narasi puitik yang mencampuradukkan ungkapan “canggih”, objek-objek ganjil, serta metafor, yang tak jarang, mencekam. Ada baiknya pembaca menyiapkan teh hangat untuk melemaskan urat saraf saat mulai memasuki rimba raya metafor di buku ini, di antaranya:“Turis pukul 02.13 yang resah”(Enigma);“Lalu ayam berkaki tujuh pun lahir di salju salah waktu”(Kuil Kesedihan Wu Chao);“seekor kodok/ menelan Tuhan/ demi mendapatkan semesta/ kehampaan”(Teka-teki Desa Mati).   
Lebih dalam, Triyanto bahkan melakukan “pemanggungan ulang” atas cerita-cerita dalam novel, teks sejarah, atau film. Di puisi Tiananmen Miao Deshun, misalnya. Puisi ini menggambarkan situasi tragedi bersejarah-berdarah di Cina tahun 1989 silam. Bait pembukanya begini:“3.000? Bukan. 5.000? Lebih. Mereka—juga yang tak/ tampak—telah dilindas tank.//Bendera Deng Xiaoping begitu congkak. Darah/ terus mengucur, merembes ke tanah, dan membercak/ ke jalan-jalan”. Puisi mengisahkan tragedi, mengimajinasikan peristiwa sepenuhnya.
Hal itu tentu menjauhkan asumsi bahwa Triyanto hanya mencomot saja fragmen novel atau teks sejarah sebagai pondasi puisi-puisinya. Ia pun piawai mengoperasikan teks-teks referensi ke dalam puisi menjadi lebih performatif. Dalam puisi panjang berjudul Bandit Manis: Kisah lain Sorgum Merah Mo Yan, Triyanto memuisikan novel Sorgum Merah ke dalam 35 fragmen. Bagi yang pernah membaca novel itu, ada semacam letupan sensasi puitik saat pengalaman membaca novel berkelindan dengan proses pembacaan puisi. Di saat bersamaan, puisi-puisi Triyanto ibarat “menghidupkan” kembali teks-teks referensi itu ke dalam alam imaji pembaca.
Triyanto kentara ingin pembacanya ikut mengerti bagaimana proses puisi-puisinya diolah dan ditulis. Secara tersirat, puisi-puisinya mengajak, bahkan merayu, pembaca untuk tergerak menelusuri teks-teks rujukan yang ia hadirkan. Dengan begitu kita pun mafhum: betapa bagi Triyanto menulis puisi memang tak sekadar mengandalkan lamunan. []


 Jawa Pos, 28 Agustus 2016

Jumat, 29 Juli 2016

Mengisahkan Hatta dari Sangat Dekat


Sejarah Indonesia meriwayatkan Mohammad Hatta sebagai tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita membaca ketokohan Hatta bereferensi buku sejarah maupun biografi dan otobiografi. Para sejarawan mengurai kiprah Hatta berdasarkan aktivitas, pemikiran, dan perannya di bidang intelektual, politik, ekonomi, dan pergerakan.
Sekian buku tentang Hatta sengaja diterbitkan oleh sahabat, sejarawan, orang-orang terdekat, bermaksud melengkapi pengisahan sosok Hatta secara komplit. Begitu pula dengan penerbitan buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2016) yang ditulis oleh tiga putrinya: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Ketiganya menuliskan kesan, pengalaman, dan ingatannya sebagai anak seorang tokoh besar Indonesia.
Sebagai anak pertama, Meutia tentu paling banyak memiliki kesempatan menikmati masa kecilnya bersama sang ayah. Meutia mengenang masa-masa di saat ayahnya kerap mendapat undangan ke luar negeri meski sudah tidak berstatus Wakil Presiden pertama Indonesia.
Meutia ingat saat diajak ayahnya melawat ke Jerman. Di sebuah restoran yang mereka kunjungi, terjadi peristiwa yang kemudian membuat Meutia terkagum-kagum pada sikap berani ayahnya. Hanya karena beda warna kulit, rombongan Hatta tidak mendapat perlakuan memuaskan dari pengelola restoran milik warga Jerman.
“Ayah berbicara dengan fasih dan tegas, saya terkesima. Ayah memprotes perlakuan mereka yang membuat kami berlama-lama di sana tanpa dilayani”(hal.15). Peristiwa ini menegaskan betapa Hatta adalah seorang pemberani yang menjunjung tinggi kesetaraan hak-hak manusia. Ia tak rela mendapat perlakuan berbeda hanya karena beda ras.
Selain itu, Meutia tak segan untuk menceritakan hal-hal pribadi terkait sang ayah. Misalnya, tentang alasan mengapa ayahnya terlambat menikah, yaitu di usia 43 tahun. Menurut Meutia, ayahnya ”tidak ingin menikah sebelum Indonesia merdeka” (hal.39). Prinsip itu pun benar-benar Hatta lakoni. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Hatta menikah dengan Rahmi Rachim, yang kemudian menjadi ibu dari ketiga penulis buku ini.
Salah satu didikan Hatta yang hingga kini masih Meutia ingat dan lakoni yaitu terkait buku. Hatta memang terkenal sebagai sosok intelektual penggila buku. Sejak kecil, Meutia diajarkan oleh Hatta agar memperlakukan buku secara terhormat. Saat membaca buku, Meutia diajarkan agar “duduk manis, tangan dilipat, dan satu aturan lagi, buku tidak boleh dicoret atau diberi tanda dengan cara dilipat ujungnya”(hal.84).
Selain tegas, teguh pendirian, dan disiplin, Hatta juga dikenal sebagai sosok lelaki yang romantis. Gemala Rabia’ah Hatta terkenang sikap ayahnya yang sangat halus kepada Rachmi, sang ibu. Dalam kisahan Gemala, kita bisa mendapati gambaran tentang keromantisan Hatta pada istrinya.
Gemala mengisahkan momentum saat Hatta memberikan uang pensiunan kepada istrinya. “Ini pensiunan Kak Hatta, tolong Yuke cukupkan. Nanti kalau ada yang kurang, katakan pada Kak Hatta, nanti kita carikan jalan keluarnya”(hal.147). Sebuah dialog yang lembut. Hatta punya penggilan kesayangan kepada Rachmi, begitupun sebaliknya.
Kita bisa membaca situasi Hatta saat itu. Pensiunan sebagai Wakil Presiden tak menjamin kebutuhan hidup berkecukupan. Meski tak punya banyak uang, Hatta tetap mengutamakan sikapnya yang lembut pada sang istri.
Berbeda dengan ulah para politisi hari ini yang gemar korupsi. Meski kondisi keuangan yang tak terlalu longgar, Hatta tak tergiur mengambil uang negara yang bukan haknya. Gemala terkesan dengan kejujuran Hatta terkait penggunaan uang negara.
Kala itu, Hatta mengalami sakit keras dan mesti berobat ke luar negeri. Seluruh biaya pengobatan ditanggung negara. Ketika pengobatan selesai, ternyata ada sisa dari biaya pengobatan yang menurut aturan negara sudah menjadi hak Hatta. Tetapi Hatta berkehendak lain. Meutia mengenang ucapan ayahnya:”itu bukan uangku, kembalikan kepada negara”(hal.166).
Kejujuran dan kesederhanaan Hatta juga begitu membekas dalam ingatan si ragil Halida Nuriah Hatta. Sekitar tahun 1955, Hatta melepas jabatannya sebagai Wakil Presiden. Hatta sekeluarga kemudian hengkang dari rumah dinas. Hatta bisa saja meminta bantuan negara untuk membelikan rumah. Namun hal itu tidak Hatta lakukan.
Hatta lebih memilih membeli rumah dengan mencicil. Hatta mengakui cukup membiayai rumah itu dari penghasilannya sendiri yang bersumber pada “tabungan dari penghasilan kebiasaan menulis di media sejak muda, yaitu menulis karangan yang mengupas berbagai berbagai persoalan mendasar bidang sosial, ekonomi, politik”(hal.200).

Ingatan dan kenangan ketiga putrinya tentu sanggup menjelaskan Hatta dari dekat. Buku ini akan semakin berkesan apabila konsisten mengisahkan Hatta secara personal, dalam bingkai relasi anak dan ayah. Sayang sekali, ketiga penulis justru tergiur mengurusi hubungan politik, uraian ideologis, serta upaya menjelaskan pemikiran-pemikiran Hatta. Hal itu tentu mubadzir karena ada begitu banyak buku karangan para pakar yang lebih mumpuni dalam mengulas hal tersebut.[]

Menguak Jejak Tiga Seniman Rupa Tionghoa

 Di era Orde Lama, patron seni rupa Indonesia berkiblat pada selera Presiden Sukarno. Seni disituasikan untuk menyokong misi politik dan gagasan Sukarno. Tak ayal lagi, seniman yang sanggup menggugah selera seni Si Bung dijamin bakal mendapat perhatian khusus.
Salah satu seniman yang menarik perhatian Sukarno adalah Lee Man Fong. Reputasinya sebagai pelukis mulai dipandang sejak lukisannya yang berjudul Telaga Warna dibeli oleh kolektor terkenal, Gubernur de Jonge. Tahun 1950, ia juga mendirikan perkumpulan seniman Tionghoa bernama Yin Hua. “Yin” artinya Indonesia, dan “Hua” artinya Tionghoa.
Kepopuleran Man Fong merangsang Sukarno menjadikannya pelukis istana. “Reputasi artistik dan organisasi ini yang meyakinkan Bapak untuk mengangkat Man Fong jadi Pelukis Istana menggantikan saya,” tulis Agus, mengutip Dullah, Pelukis Istana sebelumnya (hal.58).
Man Fong ditugasi membuat mural berjudul Margasatwa dan Puspita Indonesia untuk Hotel Indonesia dan menyusun buku koleksi lukisan Sukarno sebanyak 5 jilid. Keterlibatan Man Fong dalam proyek besar Istana itu berbuah manis. Ia mendapat kado istimewa dari Sukarno, yaitu “pengesahan status kewarganegaraan Indonesianya yang bertahun-tahun tak pernah terealisasi”(hal.61).
Kisah kedekatan Man Fong dan Sukarno dikisahkan secara apik oleh Agus Dermawan T dalam buku Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa (2016). Selain Man Fong, ada dua seniman rupa Tionghoa lainnya, yaitu Siauw Tik Kwie dan Lim Wasim. Agus mengisahkan tiga tokoh itu dalam kerangka narasi yang menaut pada relasi kekuasaan, politik, dan gesekan ideologi.
Nasib menjadi pelukis istana juga menghampiri Lim Wasim, pelukis berbakat lulusan Central Institute of Fine Art Beijing, 1950-1956. Keterlibatan Lim Wasim dalam proyek istana mengantarkannya menjadi orang dekat Sukarno. Ia mendapat wasiat untuk menjaga, merawat, memperbaiki, hingga memodifikasi, koleksi lukisan-lukisan Sukarno.
Ada kisah unik saat Lim Wasim diminta memperbaiki sebuah lukisan, karya pelukis luar negeri, bergambar wanita telanjang. Menurut Sukarno, salah satu payudara wanita dalam lukisan itu terlalu kecil. Sukarno menganjurkan Lim Wasim mengoreksi lukisan menggunakan model, yaitu wanita yang bekerja di lingkungan Istana, agar presisinya lebih tepat.
Bisa ditebak, wanita itu menolak dijadikan model buah dada. “Janganlah menolak, ini tugas negara,” ucap Sukarno. Lim Wasim pun akhirnya sukses “memperbaiki” lukisan itu, dan Presiden nampak puas dengan hasil pekerjaannya. Lim Wasim mengakui, untuk ukuran lukisan, Sukarno memiliki ketajaman naluri seni yang ampuh. Terbukti setelah diperbaiki lukisan jadi lebih bagus (hal.200).
Berbeda dari dua karib seangkatannya yang populer sebagai “orang Istana”, tokoh Siauw Tik Kwie justru lebih dikenal sebagai komikus serial Sie Djin Koei di majalah Star Weekly. Komik ini mengusung cerita-cerita Tiongkok, dengan penggambaran yang mengadopsi tokoh-tokoh Wayang Potehi.
Sepanjang tahun 1960an, Siauw tercatat memegang rekor atas 700 episode yang terbit tiap minggu tanpa jeda. Siauw juga dianggap sebagai guru di kalangan seniman karena getol menyerukan sikap dan rasa cinta Tanah Air dalam berkesenian maupun dalam menilai karya seni.
Karir tiga seniman itu terus moncer hingga kemudian mengalami goncangan saat meletus Kudeta 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai dalang di balik peristiwa itu, dan negara Cina yang memang berhaluan komunis dituduh terlibat. Tak pelak, identitas ketionghoaan mereka pun disangkutpautkan dengan Baperki, sebuah organisasi Tionghoa yang berafiliasi dengan komunis.
Tuduhan itu berimbas pada nasib orang-orang Tionghoa. Sejak kelahiran Orde Baru, nasib para seniman Tionghoa pun kian terpojok. Untuk sekadar pameran atau memasarkan karya, mereka mesti sembunyi-sembunyi. Sedangkan Lee Man Fong memutuskan memilih hidup di luar negeri. Tiga nama seniman ini pun hilang dari catatan sejarah.
Bermodal dokumentasi wawancara dan ketelatenan mengurusi data-data di masa lalu, Agus sanggup mencatatkan kembali jejak-jejak tiga seniman Tionghoa itu dalam narasi besar sejarah (seni rupa) Indonesia. Agus mengungkap hasil pemikiran dan karya mereka demi pembuktian keindonesiaan dan nasionalisme.
Bagi Agus, tiga seniman tersebut mewariskan jasa dan hasil pemikiran yang berharga bagi bangsa Indonesia. Gagasan pluralisme Lee Man Fong dianggap mewakili jiwa nasionalisme para kaum Tionghoa di Indonesia. ”Orang-orang Tionghoa di Indonesia semestinya sejak dulu diposisikan sebagai “suku Tionghoa”, yang posisinya sama belaka dengan “suku Madura”, “suku Batak”, “suku Sunda”, dan sebagainya, tulis Agus mengutip Lee Man Fong.

Sedangkan Siauw Tik Kwie adalah orang yang berjasa menerjemahkan pemikiran filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram ke dalam berjilid-jilid buku. Ia pun menggunakan nama samaran Otto Suastika agar tak diintai oleh penguasa Orde Baru. Dan berkat ketelatenan Lim Wasim pulalah ribuan koleksi lukisan dan benda seni warisan Sukarno, yang pada saat pergantian kekuasaan terancam oleh pencurian dan penjarahan, hari ini masih bisa kita nikmati.[]

Senin, 27 Juni 2016

Baca Puisi Bareng Muhajir Arrosyid


Belum tentu, dalam sepuluh tahun sekali, saya bisa mengiringi si peneliti sekaligus esais ampuh Muhajir Arrosyid membaca puisi. Dan, belum tentu pula dalam lima tahun sekali, saya bisa kolaborasi dengan penulis lagu-gitaris-kahongers-chef jebolan Pandean Lamper Institiut Deska Setia Perdana. Maka, tak berlebihan bila foto ini kuunggah.... (Kota Lama, 25 Juni 2016)

Bedah Buku di Gramedia Pandanaran (25 Juni 2016)


Saya tentu sangat berbahagia turut merayakan kelahiran buku kedua Kartika Catur Pelita Pelita, bersama cerpenis Adi Zamzam, juga penulis kawakan Sunardi KS. Namun, yang lebih membahagiakan adalah, seperti mengamini pepatah Cina kuno, bahwa seorang pandai besi sejati hanya akan menempa besi di saat mendidih, Mas Muhajir Arrosyid sanggup mengabadikan momen tersebut dengan sangat, sangat, tepat... (25 Juni 2016, Gramedia Pandanaran)

Selasa, 07 Juni 2016

Memoar Novelis Pelari

Jika pertaruhan sebuah cerita dimulai sejak kalimat pembuka, saya berkeyakinan novel Kaze no Uta o Kike, atau dalam bahasa Indonesia berarti Dengarlah Nyanyian Angin, karya Haruki Murakami, memiliki pembukaan yang menggoda. Saya sebut pertaruhan karena di kalimat pembuka itulah, mula-mula sekali, hal yang menentukan apakah pembaca bakal masuk ke alam cerita atau sebaliknya: menutup buku dan tak melanjutkan membaca.
Begini pembukaan novel tersebut: Tidak ada kalimat sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna. Pembukaan yang sederhana, membekas, dan gampang diingat.
Namun siapa kira bila novel dengan pembuka semenggoda itu justru ditulis saat Murakami dalam kondisi pikiran yang tidak terlalu fokus. Novel lahir di sela kesibukan mengurus kelab malam, berbekal tubuh lungkrah karena lelah, disertai kepulan asap rokok sebagai teman menulis.
Novel itu selesai ditulis tapi tak membuahkan kepuasaan. Ketidakfokusan itu merangsang kegelisahan. Murakami sadar novel tak boleh ditulis dengan fokus setengah-setengah. Menulis novel memang perlu keseriusan. Keseriusan pun dibuktikan dengan menutup usaha kelab. Murakami berkeputusan menjadi penulis profesional!
Menjadi penulis profesional berarti menggantungkan perut dan nasib keluarga kepada kata-kata. Segala hal yang menurut Murakami bakal menghambat kerja kepenulisannya, satu per satu, ia benahi. Perubahan pola hidup dan kesehatan jadi prioritas.
Urusan menulis memang tak sesederhana petuah klise dari penulis-penulis lawas: menulis ya menulis saja! Nasihat ini tak boleh berumur panjang. Menulis memerlukan pelbagai hal tak sepele. Tubuh mesti “kuat” dan pikiran mesti segar. Di dalam tubuh yang sehat ada harapan untuk menghasilkan tulisan lebih banyak sekaligus berkualitas.
Pertimbangan itulah yang membulatkan tekad Murakami untuk menekuni olahraga lari. Meski sekadar berlari, Murakami tak pernah memandang sepele. Terbukti, di memoar terbarunya What I Talk About When I Talk About Running (2016) frasa “berlari” menjadi tak sesederhana definisi dalam kamus ataupun buku ensiklopedia kesehatan.
Pada mulanya, alasan berlari memang sebatas demi kesehatan. ”Menulis novel adalah pekerjaan tidak sehat. Dan untuk menghadapi sesuatu yang tidak sehat, orang harus sesehat mungkin, akunya (hal.110). Ritus berlari pun jadi agenda keseharian, berbarengan dengan hari-hari menulis dan berkata-kata.
Hari demi hari berlalu, berlari tak lagi sebatas olahraga. Berlari tak hanya ambisi dan pertarungan diri. Berlari bermakna filosofis. Murakami tergoda mengasah ketahanan tubuh sekaligus jiwanya lewat kompetisi lari. Dari lari maraton, ultramaraton, hingga triatlon. Ratusan kilometer ia tempuh. Jarak-jarak itu tak membuatnya kapok. Berlari justru memberinya keleluasan memikirkan pelbagai hal.
Lantas apa yang Murakami pikirkan saat berlari?
Tak usah menebak terlalu jauh: Murakami, tentu saja, berpikir tentang lari dan novel. Murakami itu novelis yang pelari. Kaki boleh berlari sejauh apa pun tapi di dalam pikiran hal-hal perihal novel tetaplah jadi perhatiannya.
”Sebagian besar pengetahuanku tentang menulis kupelajari melalui berlari setiap hari” tulis Murakami (hal.92). Kita mungkin heran: orang belajar menulis biasanya dengan mengikuti workshop, diskusi, kursus, seminar, atau kuliah di jurusan sastra. Murakami justru belajar menulis lewat berlari.
Murakami berolahrasa saat berlari. Ia mengevalusi diri. Tak henti-hentinya ia meyakinkan diri bahwa berlari adalah cara yang tepat untuk menjaga tubuh sekaligus kesehatan pikirannya. Kesehatan itu penyokong utama profesinya sebagai novelis.
Baginya, pilar utama seorang novelis, selain bakat dan fokus, adalah daya tahan. Murakami menegaskan:Seorang penulis fiksi, atau setidaknya berharap bisa menulis sebuah novel, membutuhkan tenaga untuk berkonsentrasi setap hari selama setengah tahun, satu tahun, atau dua tahun’(hal.88).
Nasihat mencerminkan watak khas orang Jepang: disiplin dan menjunjung tinggi rasionalitas. Kita pun membayangkan Murakami sedang berfirman di atas mimbar sembari menunjuk dan bersuara lantang: Barangsiapa di antara kamu tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat, urungkan saja niatmu jadi novelis!
Murakami memang penulis yang kecanduan berlari. Berlari jadi sama berartinya dengan menulis novel. “Aku berlari maka aku ada.” Saking berambisinya, di halaman 191, Murakami pun berwasiat: “Suatu hari nanti, jika aku punya batu nisan dan bisa memilih kata-kata untuk diukir di atasnya, aku ingin di situ tertulis:

Haruki Murakami 1949-20**
Penulis (dan Pelari)
Setidaknya Dia Tak Pernah Berjalan Hingga Akhir

Optimis sekali, bukan?
Memoar ini tentu saja penting bukan hanya bagi peminat olahraga lari tetapi juga penulis yang malas berolahraga. Bagi pelari, kisahan pengalaman mengikuti pelbagai kompetisi lari tingkat internasional tentu saja merangsang pembaca ikut merasai sensasi berlari ratusan kilometer. Sensasi berlari di atas rute Maraton hingga athena, misalnya.

Pembahasan Murakami perihal etos, laku, dan pola pikir yang mesti dimiliki seseorang untuk menjadi novelis tangguh, menjadikan memoar ini pun jadi semacam buku motivasi namun tak klise. []

Dimuat Koran Tempo, 5 Juni 2016