Beberapa
pekan terakhir, media massa tengah ramai mengabarkan rencana Pemerintah Kota
Semarang membangun kembali alun-alun lama kota Semarang. Rencana ini diakui
memiliki sambungan dengan upaya Pemkot melakukan revitalisasi Pasar Johar pasca
kebakaran sekaligus pembenahan besar-besaran kompleks Kota Lama. Kedua proyek besar itu juga sebagai respons atas
masuknya Kota Lama dalam daftar sementara World Heritage City oleh UNESCO (PBB)
2020. Bagi pemerintah, membangun kembali alun-alun dianggap penting sebagai
perangsang gairah orang-orang untuk tergoda berwisata ke Semarang.
Gagasan tersebut pantas mendapat perhatian. Keberadaan
alun-alun di Indonesia memang punya sumbu sejarah yang panjang.
Sejak era prakolonial hingga abad modern, alun-alun sudah ada di bumi
Nusantara. Alun-alun tak sekadar perkara ruang terbuka. Dalam catatan sejarawan
Olivier Johannes Raap (2015), alun-alun biasa digunakan sebagai tempat
berkumpul rakyat bersama pejabat kerajaan,
tempat pidato pejabat pemerintahan, acara pertunjukan kesenian, pesta
rakyat, hingga pelaksanaan hukuman pancung.
Kemunculan
alun-alun juga tak lepas dari dampak keberadaan
pemerintahan kolonial. Kala itu, banyak kota berstatus sebagai ibukota daerah
administratif kolonial afdeeling yang
dipimpin oleh seorang residen. Pembentukan afdeeling
diikuti pula pembentukan daerah administratif pribumi yang sederajat, yaitu
kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Alhasil, di sekitar alun-alun tidak hanya
dibangun kediaman untuk asisten residen tetapi juga bupati.
Diunduh (16/12/2016) dari https://stephanushannie.com/tag/sejarah-alun-alun-semarang/ |
Berakhirnya
kolonialisme lantas mewariskan banyak alun-alun di Indonesia. Waktu demi waktu berlalu, alun-alun dianggap sebagai entitas penanda kota. Kita gampang
menjadikan alun-alun sebagai pengingat saat datang ke kota atau daerah
tertentu. Bahkan, alun-alun kerap dijadikan etalase atau ajang pamer
keberhasilan pembangunan sebuah
kota. Alun-alun dikelilingi jalan beraspal mulus. Di sekitar alun-alun biasa terpampang
spanduk atau baliho bergambar bupati, walikota, hingga presiden.
Tak
pelak banyak pemerintah daerah berusaha mempercantik alun-alun sedemikian rupa,
berharap publik betah dan sering datang ke alun-alun. Alun-alun jadi ruang
milik bersama. Warga kota berkumpul bersama mengisi waktu senggang. Di hari
Minggu, alun-alun dimanfaatkan sebagai tempat untuk berolahraga pagi atau
sekadar jalan-jalan. Kerumunan orang pun merangsang adanya geliat ekonomi. Pedagang kaki lima dan asongan kerap mangkal di
alun-alun meski mendapat tentangan polisi pamong praja. Restoran dan kafe pun
ikut bertebaran di sekitar alun-alun.
Geliat ekonomi dan wisata yang timbul berkat keberadaan
alun-alun tentu kian menarik perhatian publik. Dari segi ekologis, alun-alun
juga berfungsi sebagai ruang serapan air. Lokasi alun-alun yang strategis itu
pun tak jarang dimanfaatkan sebagai ruang politis, sebut saja untuk kampanye
dan unjuk rasa. Ukurannya yang luas memungkinkan pengumpulan massa dengan
jumlah yang masif sekaligus lebih menarik perhatian khalayak ramai.
Kebermanfaatan yang berlimpah itu menjadikan alun-alun
memiliki ruang dalam ingatan kolektif publik. Mereka punya cerita, kisah,
bahkan kenangan, berkaitan dengan alun-alun. Ingatan itu pun bisa dimaknai
betapa keberadaan alun-alun memang punya ruang tersendiri dalam ingatan publik.
Anggoro
Suprapto lewat catatan
berjudul Kenangan Alun-alun Semarang (Suara Merdeka, 22 Februari 1987) mengisahkan nostalgia alun-alun lama Semarang kisaran tahun 1950-1960an. Anggoro bercerita seputar pemanfaatan alun-alun:”Pertunjukan sirkus pun dapat
diadakan di tempat ini. Demikian juga jika ada pasar malam atau dugderan, tidak
repot-repot cari tempat. Setiap malam banyak warga kota yang melancong ke
alun-alun. Sekadar rileks atau jajan. Tentu saja juga ramai dengan kupu-kupu
malam yang beroperasi secara diam-diam”. Alun-alun
jadi tujuan pelesiran, tempat melepas ketegangan sekaligus mencari penghiburan.
Keindahan alun-alun juga dilengkapi kehadiran “kupu-kupu malam”.
Pengisahan
itu pun nostalgia. Catatan justru diakhiri kesaksian bernada kesedihan. Anggoro mengakhiri tulisannya:”Ramainya
alun-alun waktu itu kini tinggal kenangan. Sebagai gantinya kini bermunculan
gedung-gedung tinggi.” Ungkapan “tinggal kenangan” ternyata tak hanya muncul di
lirik lagu berurai mata milik penyanyi enigmatik bernama Gaby. “Tinggal
kenangan” justru disematkan untuk alun-alun, bermisi nostalgia dan penyesalan.
Penyesalan itu tak dilanjutkan oleh pemerintah. Kenangan
dan imajinasi alun-alun justru
hendak dihidupkan lagi. Rencana itu pun bakal menghadapi
banyak godaan dan halangan karena alun-alun telah menjelma pasar dan gedung
bertingkat. Pemerintah kota mesti ingat relokasi pedagang Pasar Johar yang
setahun silam sempat memicu konflik.
Terkait rancangan pembangunan alun-alun itu, kita
berharap pemerintah tak terjebak dalam anakronisme terkait fungsi ruang dan
historisitas alun-alun. Tampilan dan desain alun-alun mesti memiliki
“sambungan” kekhasan dan estetika dengan kompleks Pasar Johar dan Kota Lama. Konsekuensi ini sepantasnya sudah diperkirakan jauh-jauh
hari, sepaket dengan antisipasi dan
penyelesaiannya—berkaca dari catatan dan ingatan di
masa lalu.
Wawasan, 16 Desember 2016