Selasa, 23 Agustus 2016

“Keberingasan Intelektual”

“Sebaik-baik warisan seorang intelektual adalah kata-kata, gagasan, dan karya.”

Budayawan Darmanto Jatman mungkin sudah kalah oleh usia dan kesehatan yang memaksanya tak berdaya di atas kursi roda. Namun, kita semua tahu, tatahan ide, gagasan, dan hasil pemikirannya, masih terus menemani kita, sampai hari ini. Tanggal 16 Agustus tahun ini, Pak Dar, begitu biasa saya menyebut, genap berusia 74 tahun.
Bagi publik, Pak Dar memang lebih kita kenal sebagai seorang penyair. Puisi-puisinya nakal, tajam, sarat kritik, dan pada saat yang bersamaan sanggup menampilkan jatidirinya sebagai penyair beralam-pikir Jawa tulen. Pak Dar adalah pembaca dan pengagum teks-teks Ki Ageng Suryomentaram.
Tetapi kita tak boleh lupa, ada satu masa di mana Pak Dar moncer sebagai seorang kolomnis dan penulis opini yang kritis. Sebuah buku kecil dan tipis berjudul Keberingasan Intelektual mencatat dengan apik esai-esai khas Pak Dar awal 1990-an. Buku ini diterbitkan tahun 1995 oleh Panca Agni bekerjasama dengan koran Manunggal (UNDIP).
Esai-esai di buku ini semula terbit dalam bentuk semacam tajuk rencana di kolom “Gaung” koran Manunggal. Buku bersampul sederhana, berwarna cokelat, dengan ilustrasi gambar tembok jebol. Sang ilustrator mungkin beranggapan kolom-kolom Pak Dar sanggup menjebol dinding—dinding kebebalan, dinding kebanalan, dinding birokrasi.
Buku tipis tapi menggoda. Di esai pengantar berjudul Siapa pun Boleh Bicara, Drs.Budi Maryono menganggap “Darmanto kadang memberikan solusi, kadang tidak sama sekali, atau malah hanya bertanya. Namun, tak jarang, pertanyaannya adalah kritik/autokritik yang jauh lebih menyodok ketimbang sekian puluh pertanyaan”. Tahun 1990-an, melempar kritik tentu berisiko, apalagi kepada rezim Orde Baru.
Sebagai seorang Jawa sejak dalam pikiran, Pak Dar tentu bukan tukang kritik yang galak. Pak Dar justru berusaha keras menyajikan tulisan “kritik tanpa menghina”. Selaras dengan apa yang Pak Dar tulis dalam puisi Hai Sapi! (ed. Heru Emka, 2012): Kalau ngeritik jangan menista orang/ kalau berteori jangan mengelabui orang/ kalau bikin pernyataan jangan mengelabuhi orang.
Kritik
Di Buku ini, Pak Dar memang banyak menyoroti peristiwa-peristiwa seputar akademik, kampus, mahasiswa, serta isu-isu politik. Esai berjudul Seminar Komersil, bertarikh Edisi 9 Th VI Maret 1987. Esai mirip parodi, sarat dialog sindiran oleh tokoh Delul dan Centhil. Pak Dar mengajukan sindiran atas ulah para profesor yang gemar bikin “bisnis” seminar.
Seminar-seminar tentu bertarif mahal, menghadirkan pakar berlabel intelektual. Kini, kian hari bisnis seminar kian bersimaharajalela. Seminar tak lagi di kampus atau gedung pertemuan, tapi di hotel berbintang hingga restoran mahal. Esai Pak Dar ini hampir berumur 20 tahun tapi masih pantas dibaca sampai hari ini sebagai bahan renungan.
Pak Dar peka menangkap gejala-gejala “penyimpangan” yang menjangkiti para kaum terpelajar. Baginya, intelektual mesti berpihak kepada wong cilik dan tak boleh terseret dalam nalar kapitalistik. Hukumnya harga mati. Tak mengherankan bila pada beberapa tulisan-tulisannya yang menyinggung sikap seorang terpelajar, Pak Dar begitu tajam mengkritik, hingga bertebaran tanda seru di setiap tulisannya.
Dalam tulisan Para Profesor, Profesionalkah Anda? Pak Dar menulis:”Kepada mereka yang sibuk mengumpulkan kum 850 atau bahkan 1000, ada baiknya kita berkata: Mari duduk dan berbincang-bincang sejenak. Benarkah tuan seorang pro, Profesor?!” Belasan tahun kemudian, kritik Pak Dar atas ketidakjelasan sikap profesor itu mendapat sambungan. Terry Mart, fisikawan Universitas Indonesia, lewat tulisan berjudul Menggugat Kinerja Profesor (Kompas, 11 November 2015), menggugat etos para profesor yang hanya mengejar kum semata.
Buku
Dari tahun ke tahun, rasa-rasanya permasalahan yang menimpa kaum bercap intelektual belum juga beranjak. Bahkan kritik-kritik yang dilancarkan Pak Dar di masa lalu terus saja berulang sampai hari ini. Kekerasan di lingkungan pendidikan, nalar ekonomistik kaum terpelajar, hingga etos yang semakin keropos, jadi jamur yang tak pernah mau mati. Dalam kerangaka inilah sebenarnya buku Keberingasan Intelektual pantas jadi rujukan dan renungan. Dari beliau kita diingatkan untuk tetap menjaga akal sehat agar tak terlindas zaman, yang kian hari kian edan.
Gagasan Gunawan Budi Susanto dalam diskusi “Darmanto Jatman Siapakah” di Taman Budaya Raden Saleh (15/08/2016) untuk mengagendakan penerbitan buku berisi apresiasi karya-karya Pak Dar sebagai penyair, akademisi, kolomnis, intelektual, budayawan, juga pemerhati arsitektur, tentu sangat berfaedah. Pembukuan ini bakal mengawetkan sosoknya sebagai tokoh mumpuni persembahan kota Semarang untuk Indonesia. Di masa depan, buku itu bakal jadi bukti sahih ketokohan Pak Dar. Buku berpindah dari satu pembaca ke pembaca berikutnya, dari generasi ke generasi. Pemuliaan atas sosok Pak Dar pun tak akan terputus. Amin.

Pak Dar, sugeng ambal warso….

(Tribun Jateng, 20 Agustus 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar